Peretas – Perempuan Pekerja Seni Lintas Batas— adalah sebuah kolektif baru yang menghimpun sebagian perempuan pekerja seni di Indonesia. Pertemuan pertama dilakukan pada 21-26 Maret 2019 di Insitut Mosintuwu, suatu pusat gerakan perempuan dan kebudayaan di tepi danau Poso.
Saya bersyukur mendapat kesempatan turut serta dalam kegiatan yang menghadirkan 50 perempuan pegiat seni dari seluruh Indonesia ini. Venue yang nyaman dan unik, metode belajar yang kreatif, para perempuan pekerja seni yang terbuka berbagi pengalaman, pengetahuan dan keterampilannya, sungguh menginspirasi. Tulisan ini berisi hal-hal penting yang saya pelajari dari pertemuan ini.
Institut Mosintuwu
Sungguh tepat bahwa pertemuan pertama Peretas dilaksanakan di tempat seperti Institut Mosintuwu. Institut ini terletak di tepian danau Poso, tepatnya di Tentena, Kecamatan Pamona Puselembah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Ini adalah satu organisasi yang digerakkan oleh para penyintas konflik Poso. Pusat kegiatannya di Dodoha, rumah bambu yang menyerupai seekor ikan raksasa.
Ruang utama terletak di bagian kepala ikan. Bentuknya setengah terbuka. Sebagian besar acara Peretas berlangsung di sini. Dodoha ini juga dilengkapi cafe, galeri seni, perpustakaan, dan radio komunitas. Satu jembatan panjang dari kayu menghubungkan Dodoha dengan gubuk di atas danau, satu spot yang menjadi tempat favorit semua peserta. Gabungan antara seni arsitektur dengan keindahan alam membuat Dodoha ini tampak sempurna.
Insitut Mosintuwu ini lahir dari kompleksitas persoalan konflik atas nama agama di Poso. Konflik ini telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi warga Poso. Sebanyak 3.000 perempuan mengalami kekerasan selama konflik berlangsung.
Pada 2005, Lian Gogali, salah satu penggagas Insitut Mosintuwu melakukan penelitian tentang perempuan dan anak dalam pusaran konflik ini. Penelitian dibuat untuk kepentingan studi S2 di salah satu universitas terkemuka di Jogjakarta.
Hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana perebutan kekuasaan ekonomi politik di Poso ikut melatarbelakangi konflik ini. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana pengalaman dan pengetahuan perempuan berkontribusi untuk membangun perdamaian.
Saat penelitian berlangsung, pertanyaan seorang ibu di pengungsian membekas di benak Lian: „setelah riset ini selesai, kami bagaimana?“ Pertanyaan inilah yang kemudian menuntunnya pulang dan memulai gerakan.
Gerakan dimulai dengan menyelenggarakan sekolah perempuan. Pesertanya adalah perempuan dari desa-desa sekitar dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Di sini untuk pertama kalinya dialog antara perempuan lintas agama mendapat ruangnya. Rasa benci dan saling curiga yang terbangun selama konflik pelan-pelan runtuh terganti dengan kesadaran kritis.
Sekolah perempuan berlangsung selama setahun. Dari sini lahir para perempuan pelopor perdamaian. Mereka menciptakan narasi-narasi baru tentang Poso menggantikan narasi konflik yang terus-menerus dihembus oleh berbagai kelompok dan diperkuat oleh media massa.
Konflik terbuka antara agama berakhir dan namun gerakan ini terus tumbuh. Dari isu konflik mereka berpindah ke isu kedaulatan ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil politik. Dari hanya gerakan perempuan mereka berkembang menjadi gerakan kebudayaan. Pendidikan kritis terutama terhadap kelompok perempuan menjadi kunci dari gerakan ini.
Sebagai tuan rumah, Lian Gogali mengatakan bangga Institut Mosintuwu menjadi tempat kegiatan peretas berkumpul. “Ini menambah energy yang ada di sini dan semoga kami juga bisa berbagi energy yang sama kepada teman-teman sekalian” ucapnya. Sebagai peserta, saya merasa bahwa Mosintuwu sudah memberi kami energi itu.
Perempuan dan Ragam Praktik Berkesenian
Saat sesi perkenalan, saya melihat betapa beragamnya praktek berkesenian para perempuan jaringan Peretas ini. Ada pemain teater, penulis naskah, pendongeng, pembuat film, pelukis, penulis novel, peneliti, penari, pengelola bioskop alternative, pengrajin dan berbagi praktik berkesenian lainnya.
Saya datang dari latar belakang yang asing dengan keragaman seperti ini. Padahal kami sangat kaya dengan praktik seni terutama seni tradisi. Namun seni yang dulunya menjadi bagian dari keseharian hidup, kini lebih banyak terlihat di sanggar atau festival-festival seni. Seni kini hanya menjadi komoditas. Keberagaman jenisnya pun makin berkurang. Apalagi jika menghitung jumlah pelaku perempuan.
Meski tidak dibahas secara khusus di acara ini, saya sedikit menangkapn persoalan ini dalam sesi gerakan Insitut Mosintuwu serta sesi perempuan dan kolektif.
Di Insitut Mosintuwu, mereka berupaya menggali kembali nilai dan praktik seni tradisi mulai dari sastra lisan, lagu hingga tari. Hal ini dilakukan untuk membangun kembali identitas budaya tetapi juga sebagai bentuk perlawanan pada sistem kapital yang eksploitatif.
Ini tampak juga dalam karya para seniman perempuan yang hadir baik yang bergerak di seni tradisi maupun kontemporer. Mereka memperjuangkan nilai ini di balik karya-karya mereka.
Sementara itu, menghadapi system patriarki yang mengakar kuat dalam kebudayaan serta kelas-kelas social yang terbentuk dalam masyarakat yang menghalangi munculnya para pekerja seni perempuan, saya melihat bagaiman para seniman perempuan ini berusaha menciptakan ruang-ruang alternatif, salahsatunya dengan membangun kolektif.
Perempuan dan Kolektif
Beberapa peserta berbagi pengalaman bergerak bersama kolektif. Kolektif-kolektif ini sangat beragam. Ada yang hanya terdiri dari perempuan, ada yang terdiri dari perempuan namun dengan ragam ekpresi gender dan orientasi seksual, ada yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Pertanyaan reflektif terkait kolektif adalah sejauh mana kolektif yang dibangun sudah menjadi alternatif atas masyarakat yang sangat patriarki? Dan apakah kolektif yang ada berjalan berdasarkan perspektif feminis di mana laki-laki dan permepuan berada dalam posisi yang setara?
Saya sendiri terlibat dalam beberapa kolektif. Ada kolektif kecil yang solid, ada juga kolektif besar dan sangat cair. Namun hampir semua kolektif yang saya ikuti belum memikirkan nilai seperti yang ada dalam dua pertanyaan reflektif ini.
Buat saya ini menjadi jawaban kenapa upaya untuk melibatkan perempuan dalam banyak gerakan sosial yang saya ikuti sedikit buntu. Kolektif yang ada saat ini sebagian besar masih menduplikasi situasi social masyarakat yang mengekslusi perempuan.
Dengan situasi ini, saya memikirkan dua alternatif. Pertama, menciptakan kolektif baru dengan kesadaran penuh sebagai ruang nyaman bagi perempuan untuk belajar dan berekspresi. Dan kedua, memasukkan perspektif feminisme dalam dalam kolektif yang sudah berjalan saat ini. Keduanya sangat mungkin untuk dicoba.
Perempuan dan proses penciptaan karya
Suatu karya bisa lahir dari pengalaman bersama dan pengalaman personal pembuatnya. Gabungan antara pengalaman dan tersedianya ruang untuk belajar dan mengekspresikan menjadi faktor pendukung suatu karya bisa lahir.
Di acara Peretas, saya melihat bagaimana proses para pekerja seni perempuan ini menciptakan karya-karya mereka. Karya-karya itu terwujud dalam banyak bentuk: pengetahuan, ruang, gambar, lagu, kriya dan berbagai bentuk lainnya.
Ada beberapa proses penciptaan karya terbilang baru untuk saya. Sensory etnografi salahsatunya. Metode ini menggunakan respon indrawi kita untuk menangkap satu fenomena besar yang terjadi di sekitar.
Masalah kesehatan jiwa juga bisa melahirkan karya-karya kreatif. Hana Madness seorang penyintas kesehatan jiwa berbagi tentang bagaimana masalah kesehatan jiwa berpengaruh pada karya-karyanya dan sebaliknya bagaimana proses penciptaan karya telah membantu proses pemulihannya.
Hana membagi ceritanya dalam sesi seni dan kesehatan mental. Di sini Hana bercerita bagaimana pengalaman buruk masa kecil mempengaruhi kesehatan jiwanya. Cerita Hana memancing para peserta lain untuk menyampaikan kisah mereka. Di sesi ini saya menangis. Tapi lebih dari itu saya kagum. Teman-teman ini bisa melalui masa-masa sulit mereka dan kini berdaya dengan praktik berkesenian dan menginspirasi orang-orang dengan karya mereka.
Seniman dan Etika Berkesenian
Topik lain yang penting untuk saya adalah etika berkesenian. Etika berkesenian membahas hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang seniman ketika ingin mengangkat pengalaman satu komunitas di mana seniman bukan bagian di dalam komunitas itu.
Ada beberapa poin penting yang saya tangkap dari topik ini. Pertama, sebagai seniman, kita harus mengkritisi tujuan kita membuat karya. Apakah hanya untuk tujuan pribadi (karir, nama baik, uang) atau tujuan bersama komunitas yang sedang kita perjuangkan. Penciptaan karya bersama komunitas juga harus melalui riset yang mendalam agar kita memahami secara menyeluruh apa yang terjadi di dalam komunitas. Kita harus juga mengutamakan proses yang etis dan bukan sekedar hasil akhir yang baik. Selain itu, partisipasi komunitas dalam penciptaan karya saja tidak cukup, partisipasi itu harus sesuatu memajukan dan memberdayakan komunitas. Hal penting lainntya adalah bagaiam sebagi seniman kita harus membangun solidaritas, komitmen dan kerja jangka panjang bersama komunitas sebagai bentuk tanggungjawab kita atas karya seni yang sudah hasilkan.
Beberapa dari catatan ini menjadi kritik atas cara kerja saya selama ini. Sesuatu yang sudah lama saya rasakan tapi tidak mampu saya defenisikan. Saya senang sudah berkesempatan belajar etika berkesenian di ruang ini. Ini tentu menjadi masukan penting untuk kerja-kerja ke depan.
Lanjut berkarya
Jika proses berkarya diibaratkan sebagai perjalanan, maka acara peretas berkumpul ini telah menjadi jeda singkat mengumpul kekuatan untuk melanjutkan perjalanan itu.
Dari tempat ini kami pulang ke tempat masing-masing, kembali bergelut dengan berbagai soal. Saya kembali ke Papua di mana kekejaman pembangunan bercampur dengan diskriminasi rasial, eksploitasi sumber daya alam, kekerasan politik, dan perampasan tanah hampir tiap hari terjadi. Energi dari pertemuan ini tentu menguatkan saya. Energi yang sama saya bagi dengan kolektif saya.
Karenanya terima kasih untuk semua yang mengagas acara ini dan mendukung sehingga terwujud. Saya percaya, semua hal baik yang dibagi di sini menyebar dan menguatkankan para perempuan pekerja seni di manapun kami berkarya.
Ohayo, Pakaroso!