Langit sangat cerah, awan putih bergerak berkejaran pelan seiring baling-baling pesawat yang saya tumpangi berhenti sempurna. Seketika perasaan haru membuncah ketika terbaca dengan jelas tulisan ‘Bandar Udara Frans Seda’ dari jendela pesawat. Bandar udara yang kecil, rapi dan tampak senyap, jauh dari hiruk pikuk. Saya tak sendirian. Empat orang lainnya, Indah Darmastuti dari Solo, Tria dari Bali, Vita Agustina dari Yogyakarta dan Rahmadiyah Tria Gayatri (Ama) dari Palu turut menikmati udara segar Maumere untuk pertama kalinya.
Di tengah pandemi, kami berlima dengan penuh gusar dan pertimbangan akhirnya menyepakati untuk mengikuti kegiatan Susur Selubung Kampung Wuring (SSKW) “Merekam Cerita Perempuan Pesisir” yang diinisiasi oleh Maria Ludvina Koli atau kerap disapa Iin secara tatap muka. Lima kawan kami lainnya yaitu Angka dari Jakarta, Fatikha dari Cirebon, Lilu dari Bali, Hilda dari Makasar dan mbak Lusiana Limmono – Malang memutuskan mengikuti seluruh kegiatan secara daring. Dengan dukungan penuh dari Peretas, Iin bersama Aura Asmaradana, Kartika Solapung dan Komunitas Kahe menggarap dengan serius kegiatan ini. Infrastruktur jaringan yang belum merata membuat Iin bersikukuh mengadakan kegiatan SSKW tatap muka.
Susur Selubung Kampung Wuring berlangsung tanggal 30 Mei – 6 Juni 2021. Sebelumnya, kami telah dibekali pengetahuan tentang Kampung Wuring dan ditajamkan perspektifnya terhadap isu perempuan melalui diskusi daring selama empat kali berturut-turut.
Kampung Wuring adalah salah satu kampung nelayan di Indonesia. Letaknya di Alok Barat, Kabupaten Sikka, NTT. Dalam kegiatan ini kami diajak untuk mengenal kehidupan perempuan di Kampung Wuring. Mendengarkan kisah mereka. Selama seminggu, kami menelusur Kampung Wuring. Selain berbincang dengan para perempuan di Wuring, kami melihat pelabuhan, rumah ibadah, sekolah, hingga menikmati senja di tambatan perahu.
Di hari pertama, kami mengunjungi mbok Rapise, seorang dukun beranak berusia 60 tahun yang biasa membantu orang melahirkan. Tak hanya itu, mbok Rapise dinilai punya kekuatan spiritual untuk mengobati setiap penyakit. Selain berbagi cara mengobati, mbok Rapise juga bercerita pengalamannya ketika gempa dan tsunami berkekuatan 6,8 SR melanda Flores tahun 1992. Dengan bergidik ia berujar “Tak pernah saya lihat air laut setinggi itu, saya dan orang-orang berhamburan lari ke gunung. Setelah bertahun-tahun tinggal di gunung, saya ke laut lagi, tinggal di sini lagi, di Wuring, karena ini rumah saya, hidup saya”.
Mbok Rapise membekali kami dengan doa-doa yang ia yakini. Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sore hari menuju rumah nelayan perempuan, Bibi Ita dan Tina. Kedua perempuan ini adalah kakak beradik, mereka melaut setiap hari. Kehidupan menjadi nelayan tidak mudah. Bukan hanya harus terampil menjaring ikan tapi juga harus bersiaga menghadapi cuaca buruk. Bibi Ita dan Tina, dua perempuan tangguh ini sangat mandiri secara finansial. Dalam sekali melaut Tina minimal mengantongi empat ratus ribu hingga 1,2 juta rupiah.
Pengakuan Tina atas penghasilannya berhasil mengantarkan kami menutup hari pertama di Kampung Wuring dengan penuh rasa takjub. Di kampung saya Majalengka, buruh-buruh perempuan yang bekerja di pabrik garmen hanya diberi gaji sebulan sebesar 1.9 juta rupiah saja. Jauh sekali dibandingkan penghasilan Tina, perempuan 19 tahun yang telah mencari uang sejak usianya 13 tahun dan kini menjadi tulang punggung keluarga.
Hari kedua di Kampung Wuring, saya dan kawan-kawan dikenalkan panganan khas mereka. Gogos, Buras dan Bajabu. Gogos terbuat dari beras ketan, dibungkus menggunakan daun pisang, kemudian dibakar. Buras seperti halnya lontong di Jawa, terbuat dari beras, dibungkus daun pisang pula. Sementara Bajabu, adalah abon yang terbuat dari ikan tongkol. Gogos atau Buras dicocolkan pada Bajabu agar lebih nikmat ketika dimakan. Sambil menikmati Gogos, kami mendengarkan Bibi Ase dan Haji Podeh tentang riwayat Gogos, Buras dan Bajabu yang berasal dari Bajo, Bugis dan Makasar. Makanan tersebut wajib ada di hari besar seperti hari raya idul fitri, ataupun pernikahan.
Hari berikutnya, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama transpuan. Transpuan sangat diterima di Wuring, beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat seperti Haji Mona yang disegani. Ada pula yang menjadi kader posyandu. Sebagian lainnya membuka warung sembako dan mendirikan salon. Meskipun menjadi kelompok minoritas, namun kehadiran mereka sama pentingnya. Tak ada persekusi dan intimidasi, mereka bisa menikmati hari-hari dengan produktif. Kampung Wuring menjadi tempat yang ramah dan aman bagi mereka yang biasanya dikategorikan kelompok rentan ini.
Para perempuan di Kampung Wuring adalah penggerak ekonomi. Selain melaut seperti yang dilakukan Bibi Ita dan Tina, kebanyakan dari mereka memilih berjualan ikan di Pasar Wuring. Sore hari sampai menjelang malam Pasar Wuring sangat ramai dikunjungi pembeli dari Maumere yang ingin menikmati ikan segar.
Selain di Kampung Wuring, kami pun mendengar cerita perempuan di Tim Relawan untuk Kemanusian Flores atau dikenal dengan TRuK F. Sebuah lembaga mandiri yang melindungi perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual. Suster Eustochia Koordinator TRuK F dan Pater Ignas relawan di TRuK F bercerita tentang perjuangan mereka dari tahun 1998. Kehadiran TRuK F sangat dibutuhkan dan menjadi nafas lega bagi para perempuan di Flores. Suster Eusto mengatakan adat dan budaya patriarki masih menjadi penyebab paling dominan terjadinya kekerasan pada perempuan di Flores.
Kami juga mengunjungi SOS Children’s Villages. Sebuah kampung yang terdiri dari beberapa rumah. Setiap rumah dihuni ibu yang mengasuh anak-anak sebanyak 6-8 orang. Anak-anak yang diasuh adalah anak-anak yang berisiko kehilangan pengasuhan orang tua. Menjadi ibu asuh di SOS Children’s Villages tidak mudah. Butuh komitmen yang kuat, karena mereka dituntut untuk tidak menikah. Para ibu asuh ini telah meruntuhkan stigma yang selama ini melekat pada perempuan. Mereka dapat menjadi referensi bahwa perempuan dapat hidup berkualitas dan bahagia tanpa harus terlibat dalam pernikahan.
Di penghujung kegiatan menjelang kepulangan kami ke daerah masing-masing, kami mengunjungi Watubo. Sebuah sanggar seni di Watublapi yang dipimpin oleh kak Rosvita. Upacara sambut tamu digelar bagi setiap mereka yang datang. Bunyi alat musik gaduh beradu dengan saut-sautan para penari perempuan. Watubo adalah tempat para perempuan berkarya. Mereka pelestari tradisi. Menenun dengan suka cita. Hasil kerja kerasnya bisa cukup memberikan mereka hidup dan kehidupan. Para mama di Watubo percaya, tenun bukan sekedar selembar kain. Di baliknya ada ratusan hikayat, mitos dan kisah para leluhur mereka.
Susur Selubung Kampung Wuring bagi saya bukan sekedar perjalanan biasa. Perjalanan seminggu yang memberi energi di tengah daya saya yang terserap habis digerus pandemi. Mendengar cerita mereka, para perempuan di Maumere mengkayakan perspektif saya tentang perempuan. Ruang-ruang baru menjadi terbuka. Segunung oleh-oleh refleksi tentang perempuan, lingkungan dan budaya menjejali pikiran saya.
Hari terakhir. Di sisi Teluk Maumere yang airnya sangat tenang, lamat-lamat terdengar deru perahu motor. Melintas begitu saja di hadapan, bergerak pelan di air yang cukup dangkal. Saya dan mbak Indah yang kebetulan setiap hari selalu menyempatkan diri ke pinggir teluk tertegun di pagi itu. Benar! kami harus kesini lagi, mendengar cerita dan belajar lebih banyak lagi dari mereka, para perempuan penghuni Nusa Nipa. Kami ingin menikmati banyak hal bersama mereka. Bernyanyi, memasak, bermain sambil menunggu senja tenggelam ataupun membenamkan kaki bersama-sama di Teluk Maumere yang airnya sangat hangat ini.