Persis seperti ungkapan Audre Lorde “I am not free while any woman is unfree, even when her shackles are very different from my own.” Begitulah Peretas yang berhasil mengumpulkan perempuan-perempuan yang siap untuk membagikan pergumulannya. Tidak hanya sebagai perempuan, tapi juga sebagai perempuan yang berkecimpung di ruang-ruang seni. Menyeleksi lebih dari 300-an peserta bukanlah hal yang mudah, apalagi banyak sekali perempuan di luar sana yang sangat aktif berkarya. Namun, pada akhirnya 50 peserta sepertinya cukup untuk (saat ini) merepresentasikan situasi perempuan.
Disuguhkan oleh salah satu tempat terbaik di Poso yang kemudian disambut dengan kehangatan danau, serta peserta yang semakin panas dengan ceritanya. Mosintuwu siap menampung pergumulan perempuan ini, gempa yang sempat muncul pun juga belum mampu memadamkan semangat untuk terus berbagi kisah, sebab tak ada lagi kisah yang ingin mereka redam, semua harus segera dipancarkan.
Berbekal rasa penasaran dengan konsep kegiatan ditambah sejarah Poso (yang menjadi tempat pertemuan) perempuan ini pun akhirnya berkumpul. Peserta sangat beragam mulai dari, muda-tua, perupa, pemusik, peneliti, teater, ibu bersama dengan anaknya, hingga ada yang mengaku bukan seniman sama sekali. Apa pun profesinya tidaklah penting karena keberagaman ini membuat kita buta dengan sekat.
Menurutku, Peretas menjadi ruang ‘amarah’ yang nyaman untuk 50 perempuan dari ujung barat sampai timur Indonesia. Bukan perkumpulan yang biasa memang, memakai istilah unconference conference semua peserta akan saling berbagi potensi, pengalaman, bahkan kelemahan diri masing-masing. Mengulik apa kebutuhan diri saja sulit, apalagi harus membagikan potensi kekuatan diri sendiri. Untuk itulah, pemilihan metode ini tentu bukanlah tanpa alasan, jika sudah bergumul satu sama lain, maka harus ada pula hal yang dibagikan untuk menjadi sumber kekuatan. “Semua peserta adalah sumber pengetahuan”, ujar Naomi Srikandi. Tidak ada hal yang terlalu sepele untuk diceritakan, karena semuanya adalah berharga jika sudah dibagikan.
Di dalam sesi, satu perempuan menceritakan bahwa dia belum mengalami masalah dengan kondisi perempuan saat ini. Satunya lagi mengatakan bahwa banyak tekanan yang dialaminya saat berkecimpung di dunia seni. Hal ini membuktikan bahwa perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda, pengalaman orisinal dan menarik. Dari sinilah cerita dimulai. Membahas keberlanjutan kolektif, situasi masyarakat adat sampai ruang seni yang penuh toxic-maskulinitas, tidak jarang ini menjadi kendala perempuan untuk terus bertumbuh di ruang seni. Perempuan memiliki banyak lapisan hidup yang hampir tidak terbaca, dianggap tidak penting dan hilang. Kadang menggalinya tidaklah cukup, memberikan pupuk untuk terus bertumbuh bisa menjadi sebuah solusi.
Mungkin, inilah makna garam dan terang dunia sesungguhnya, di tengah kegelisahan melihat kondisi ruang seni perempuan saat ini, Dia (Peretas) hadir memberikan harapan, tidak hanya harapan melainkan kesempatan. Banyaknya pengalaman perempuan yang diluapkan, kadang membuat aku kesusahan untuk menampungnya satu persatu, hingga basah, banjir. Keadaan banjir yang menyenangkan, karena dipenuhi oleh banyak kisah-kisah yang bisa menumbuhkan ide-ide baru.
Akhirnya, yang muncul bukan tentang “Mengapa kondisi perempuan masih statis?” melainkan “Bagaimana cara terbaik mengubah kondisi perempuan saat ini?” Kondisi perempuan tidak baik-baik saja, mereka juga mengalami opresi, kegagalan, kekerasan. Nilai-nilai kultural yang seksis yang terinternalisasi membuat perempuan bersikap lebih reseptif atau bahkan apologetik terhadap iskriminasi. Kiranya, pengalaman di Peretas membuat banyak perempuan untuk terus bertumbuh dalam ruang seni, meski susah dan terhimpit, kita akan saling mengisi.
Berkumpulnya perempuan-perempuan di Poso adalah berkat hidup yang senantiasa patut diingat. Bahwa perempuan tidak lagi menjadi simbol kerapuhan, tapi menjadi kekuatan. Seperti pergumulan lainnya tak ada pergumulan yang biasa saja, begitu pula pergumulan ke lima puluh peserta di Peretas; meretas.