“Saya ingin suara dan karya-karya perempuan yang selama ini tidak terdengar hanya karena dia bukan siapa-siapa menjadi lebih bisa diapresiasi dengan tersedianya ruang yang terbuka untuk semua perempuan, tak peduli ia berasal darimana ”.- Naomi Srikandi
Naomi Srikandi, salah satu penggagas Peretas mengatakan tidak banyak perempuan yang mendapat kesempatan untuk bersuara dan memamerkannya di publik. Ia ingin semua perempuan di seluruh Indonesia dapat mengakses ruang publik yang selama ini telah begitu lama hanya didominasi oleh laki-laki dan perempuan yang kebetulan memang sudah mendapat privilege sedari kecil.
Peretas, mengajak 50 perempuan dari seluruh Indonesia untuk berkumpul 21-25 Maret 2019 di Dodoha Mosintuwu, Poso, Sulawesi Tengah. Membagi gagasan dan pemikirannya serta mencari daya-daya kritis yang selama ini tersembunyi disekat oleh ruang dan kuasa hegemoni patriarki. Belakangan, saya baru tahu, Dodoha Mosintuwu adalah rumah bagi Institut Mosintuwu. Sekolah perempuan yang didirikan dan dikelola Lian Gogali, yang tahun 2015 lalu menerima penghargaan Indonesia Woman of Change dari kedutaan besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Tanpa Peretas mungkin saya akan lebih terlambat lagi mengenal Lian.
SIAPA SAYA DAN MEREKA?
Dengan harapan yang besar saya melamar menjadi bagian dari 50 perempuan untuk berkumpul di Poso. Beruntung, saya terpilih. Saya yang menggeluti ilmu dan bekerja di bidang sains merasa ini kesempatan langka. Aktifitas penelitian saya satu tahun belakangan tentang budaya Sunda, Perempuan Sunda abad 19 inilah yang mengajak saya bertemu ruang dan teman-teman baru. Dodoha Mosintuwu selama seminggu digenapi dengan perempuan penulis, peneliti, kurator, sutradara, penari, ilustrator, pendongeng, perupa, pelukis, fotograper, arsitek, jurnalis, pekerja kreatif dan para perempuan lainnya yang bekerja di bidang seni dan budaya.
MELIHAT TENTENA, POSO
Hangat matahari pagi menyambut saya dan puluhan perempuan yang sebagian besar baru pertama kali menginjakkan kaki di Tentena, Poso. Bentuknya yang hampir bulat sempurna membuat pantulan-pantulan dirinya di jernihnya air danau Poso. Sepanjang mata memandang dari ‘mulut ikan’ Dodoha yang terlihat hanya biru. Langit biru, dan danau biru. Masyarakat Tentena rupanya gigih menjaga kebersihan danau Poso. Aliansi Penjaga Danau Poso, begitu mereka menamainya. Jangankan plastik, menaburkan satu butir nasi saja sangat pantang bagi mereka. Kesadaran menghadirkan warna-warni alam juga terlihat dari banyaknya bunga-bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan. Bunga kertas, aster dan sepatu, pohon coklat, rambutan, manggis, juga tak mau kalah. Saya takjub dengan suburnya tanah Poso.
Pot-pot bunga yang sederhana dari ember cat tak mengurangi kecantikan rumah mereka. Setiap rumah seolah berlomba membuat taman bunga sendiri. Jalanan yang lengang, udara yang masih bersih adalah surga untuk banyak anjing hidup bahagia, berlarian kesana kemari, ekor mereka bergoyang tak henti-henti.
SUARA PEREMPUAN DAN KONFLIK POSO
Saya mengenal Poso melalui cerita yang menyebar di media tentang Konflik Poso. Cerita yang belakangan tak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan setelah saya membaca buku Lian Gogali tentang Konflik Poso dan mendengar langsung cerita Lian juga empat perempuan penyintas konflik Poso dalam sebuah panel diskusi di Dodoha.
Para perempuan tersebut bertutur bagaimana hidup dalam konflik. Rasa takut, dendam, trauma dan prasangka yang tak berkesudahan terus menghantui mereka bertahun-tahun. Nyatanya tak ada lebih agung selain rasa damai.
Dari Lian Gogali dan para perempuan penyintas konflik saya belajar tentang pentingnya memeriksa ulang cerita dan pengalaman perempuan karena narasi yang berkembang di media nasional jarang sekali melibatkan suara perempuan dan anak. Media lebih suka mencatat jumlah korban dari kelompok muslim ataupun kriten.
Konflik Poso mengundang banyak sekali orang asing, peneliti, komunitas, LSM untuk berdatangan menginjak tanah Poso. Salah satu suara perempuan yang berhasil didengar Lian ketika wawancara adalah “Setelah mereka menulis tentang kami semua, lalu apa yang akan kami dapatkan?.” Dialog sederhana itu rupanya menghantuinya. Lian tak ingin larut dalam perasaan bersalah, ia pun bersigegas mendirikan Institut Mowintuwu.
Penelitian yang berspektif feminis sangat penting dilakukan. Perempuan mendengar perempuan, melibatkan diri dalam kedukaannya, menempatkan diri menjadi dirinya. Hasil penulisan harus membawa efek yang baik untuk perempuan. Perempuan juga harus sering berkumpul dengan sesamanya dan bertanya untuk mendapat jawaban atas banyaknya pertanyaan yang selama ini seringkali disimpan sendiri. Institut Mosintuwu mengajarkan perempuan untuk mempunyai daya kritis, daya hidup dan keberanian. Institut ini lahir dari kesadaran penuh sang pendiri untuk menjadi bahu, telinga, dan mata setiap perempuan dan anak di Poso.
Perempuan dan Kesempatan
50 perempuan di Peretas membuat banyak panel diskusi, workshop, dan kegiatan yang diberikan pada masyarakat umum. Kami belajar dengan antusias, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Kelas-kelas ini sangat penting, memantik kesadaran perempuan untuk lebih sensitif dan peduli pada tubuh, jiwa, dan pikirannya. Di Peretas, stigma perempuan yang dilekatkan oleh patriarki dan heteronormatif sebagai individu yang lemah nyatanya tak saya lihat sama sekali.
Saya melihat 50 perempuan ini sangat luar biasa, setiap suara dari mulut mereka adalah sumber pengetahuan baru bagi saya. Mereka lugas dan gamblang bicara tentang gerakan perempuan akar rumput Mosintuwu, disklasi videoart, pengarsipan, teknologi, cybercrime, mitos, spiritualisme, seni dan kesehatan jiwa, pewarna alami dan proses kimiawi, dramaturgi seni rupa, sastra, manajemen seni, etika dalam seni berbasis komunitas, Stategi dan distribusi pengetahuan dalam film & komunitas, podcast, menyulam, etnosensori, fotografi, melukis dengan cat air, dongeng, menulis sebagai terapi dan masih banyak yang lainnya.
Ketika kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan isi kepala kami kepada publik, kami nyatanya mampu. Jika selama ini suara-suara yang terdengar di masyarakat bersifat maskulin itu karena perempuan hampir tidak pernah diberikan ruang untuk bicara.
Di Peretas, perempuan tak hanya memberikan asupan pada dirinya. Mereka pun sadar segala sesuatu yang masuk dan mengendap dalam pikirannya harus dibagi pada yang lain, bukan hanya satu atau dua perempuan lainnya, tetapi pada sebuah kelompok, bahkan masyarakat. Menggambar dinding sekolah TK (mural), dan merekam dongeng di radio Mosintuwu untuk disebarluaskan pada masyarakat di Poso, adalah bentuk kecintaan kami pada masyarakat Poso.
Setiap suara dan pengalaman perempuan begitu berharga. Hana madness, membagi kisahnya tentang seni yang mengobati dirinya. Dari Hana, saya belajar untuk memaafkan diri sendiri. Untuk awas dan memberikan perhatian dan kasih sayang pada orang-orang terdekat. Penting sekali setiap individu untuk dapat berdamai dengan masa lalunya. Agar dapat tumbuh menjadi pribadi yang bahagia dan produktif.
Dari Astrid dengan terapi gerak saya belajar bahwa perempuan berhak marah, kesal, gelisah, kecewa, cemburu, takut, bahagia. Tak perlu terus-terusan berusaha menyangga bahu yang lain ketika bahu kita sendiri sudah terlalu berat. Proses menolak menjadi tempat bersandar perlu dilakukan sesekali. Penolakan tersebut bukanlah tindakan kejam, tetapi itu berarti kita menghargai dan memberi ruang pada tubuh dan diri kita sendiri. Banyak sekali sesi kelas yang saya ikuti, hampir 12 jam setiap harinya kami berkumpul di Dodoha.
Ragam aktifitas di Peretas yang semuanya berspektif feminis memberi keleluasaan untuk perempuan menjadi dirinya sendiri. Banyak dari kami yang ternyata baru mampu bercerita tentang lukanya untuk pertama kalinya.
Pentingnya Perempuan Berkumpul
Di Peretas saya belajar tentang pentingnya bergabung bahkan membuat perkumpulan perempuan. Banyak sekali gagasan-gagasan cemerlang perempuan menguap begitu saja karena ia tak sanggup merealisasikannya sendirian. Perempuan membutuhkan ruang alternatif untuk membagi keresahan dan pemikiran-pemikirannya. Ruang yang aman dan memberikan rasa adil. Kolektif perempuan menjadi sebuah tawaran untuk perempuan dapat berkarya dan berjejaring dengan leluasa. Tak akan ada Institut Mosintuwu jika Lian berkeras bekerja sendirian.
Dalam perkumpulan perempuan (tidak semua anggota harus perempuan) yang sedari awal dibentuk dengan berspektif feminis, ruang perempuan menjadi luas, tak hanya berada di ranah domestik. Gagasan, tujuan bahkan cita-cita perempuan akan terakomodir dengan baik. Saling menarik, saling mendengarkan, saling mendukung, kekuatan-kekuatan ini hanya didapatkan dalam sebuah kelompok bukan dalam ruang sunyi sendirian. Penting sekali untuk perempuan mulai memahami, mengenali kebutuhan, dan kemampuannya kemudian mencari teman dan ruang yang dapat mengapresiasi dirinya.
Kelebihan dan Kekurangan Peretas
Di Dodoha, selain ada 50 perempuan juga ada dua balita. Dua orang ibu membawa anaknya turut serta ke Dodoha. Peretas menjadi salah satu ruang dari sedikit sekali ruang yang sangat ramah untuk perempuan. Konsep Peretas membuat semua perempuan bersuara. Tak ada paksaan. Tak ada pembedaan. Tak ada sekat. Peretas paham cara untuk memanusiakan perempuan. Dengan metode belajar “Unconference conference” kami merasa tak berjarak, intim, dan saling peduli.
Tak ada yang sempurna. Begitu juga dengan Peretas. Saya melihat masih ada kekurangan. Metode “Unconference conference” yang masih asing bagi saya dan beberapa teman banyak membuang waktu ketika penyusunan materi dan jadwal di hari pertama dan kedua karena kami ternyata belum siap. Waktu yang terlalu longgar membuat masalah baru yang seharusnya tak perlu terjadi seperti tidak ontime hingga berefek pada sesi kelas berikutnya. Kurang ada target output dari Peretas, mengingat 50 perempuan bukan jumlah yang sedikit, untuk dapat bergerak dan berbuat lebih pada penduduk Lokal di Tentena.
Oleh-oleh dari Peretas
Banyak sekali hal baru yang saya dapat sepulangnya dari Peretas. Sayangnya, keberuntungan saya untuk bebas bersuara di Peretas belum bisa dinikmati semua perempuan di seluruh Indonesia, yang nyatanya sampai hari ini masih dibayang-bayangi ketakutan. Keberanian dan daya kritis ibu-ibu rumah tangga di Poso juga tak banyak kita jumpai di daerah lain. Banyak yang masih ‘disekap’ dalam rumahnya sendiri. Butuh tak hanya satu, dua, tiga perempuan tetapi banyak perempuan untuk saling menarik, memberikan energi dan kesadaran pada perempuan lain.
Pe-er saya masih banyak, pe-er kita masih banyak!
Salam, Pakaroso!