Ini hanyalah catatan kecil dari serpihan-serpihan yang tercecer dalam pertemuan para wanita dihebat di Poso beberapa waktu yang lalu. bagaimanapun saya merasakan bahwa ada energi yang besar dan luar biasa yang sedang turun dan naik kepermukaan bumi dan mengurapi kami (entalah apa kaupun merasakan hal yang sama?)
Awalnya sih ada perasaan ragu saat seorang kawan menyodorkan link web pendafataran peserta Peretas pertanyaan saya adalah bagaimana dengan sikecil yang masih lagi menyusu dan diapun sangat lengket dengan saya. Sempat terpikir ini adalah moment untuk menyapihnya-tetapi lagi-lagi tumbuh rasa khawatir bagaimana kalau dia sakit? sedangkan hanya ada dia dan bapaknya di Jayapura, apakah bapaknya bisa “tlaten” membujuknya minum obat, menggosok minyak dan lain-lain?
disisi lain sebagai ibu saya bukan hanya ingin dekat dengan sikecil terutama dalam masa emas pertumbuhannya, akan tetapi lebih dari itu dalam hidup yang serba tak pasti ini saya sangat ingin memberikan sebanyak mungkin warna dalam hidup anakku, warna yang nanti akan membantu dia memandang dunianya kelak.
dan pertemuan di para Peretas di Poso saya percaya dapat memberikan satu lagi warna yang kuat dalam hidupnya kelak.
Maka dengan tekad dan nekad sebab tak tau apakah cukup layak untuk terpilih sebab hastagnya sih memang untuk para penggiat seni dan budaya, para penulis dan movie maker. Suatu yang saya rasa tak begitu akrab dengan keseharian saya. Namun sejujurnya justru ini yang buat saya mendaftar.Ya saya justru ingin belajar, jadi memang rasanya jadi mirip mak-mak kepo yang pingin tau resep masakan baru, kira-kira itulah yang ada dalam benak. ayang palagi setelah saya tau bahwa disini semua orang bebas belajar dan mengajar, tak ada model seminar yang formal, tetapi semua peserta adalah pemateri dan semua pemateri adalah peserta, maka sayapun dengan merdeka dan senang hati melompat dari satu kelas ke kelas lain yang sejujurnya sama sekali baru bagi saya.
akan tetapiseperti dua sisi mata uang, saya mendapati separuh saya bersemangat belajar, namun sisi lain saya punya banyak sekali ketakutan sebab, tentang apa yang mereka pikir tentang saya? layakkah saya? apalagi ketika 50 perempuan itu mendaulat saya untuk duduk di panel dan bercerita soal pergumulan saya dan perjuangan saya melawan stigma dan hoax tentang suku Korowai, bukan apa-apa sebab emosi saya selalu seperti teraduk-aduk setiap bercerita tentang mereka. saya takut dibilang lebay. namun apa yang saya dapati adalah bagaimana disana saya bebas untuk menjadi tidak sempurna, disana tak ada judgement sebagai “drama queen, cengeng, lemah”. sebaliknya ketika seseorang harus menangis, seolah semua ruang dan diri terbuka, untuk menerima kami apa adanya, sebagai sosok yang tak sempurna dan kadang lelah untuk menahan rasa.
Disana kami masing-masing seolah menemukan kata ” ini bahuku, bersandarlah, menangislah kalau kau memang butuh menangis, akan ku peluk tiap tetes air matamu”.
rasa bersalah lain yang mengelayuti diri adalah kenyataan bahwa saya tidak bisa full mengikuti tiap sesi, perasaan “kayaknya sia-sia panitia sudah menanggung tiket kami berdua”. ya…saya kira inilah dilema yang mungkin juga dirasakan oleh banyak makmak pekerja, antara karier atau buah hati, antara mengejar mimpi atau menjaga cinta? antara menimba ilmu ataukah mengurus buah hati. sungguh secara pribadi saya sempat terperangkap dalam semua itu dan berkutat dalam tanya “haruskah selamanya perempuan dihadapkan dengan pilihan tersebut? tidak bisakah dia meraih dan menjaga keduanya? bukankah sejatinya perempuan memang multi-tasking?.
Akan tetapi kembali semua hanyalah prasangka dan ketakutan saya semata.
Toh karena dari kodratnya perempuan itu memang suka “ngerumpi” yang sebenarnya didorong rasa ingin berbagi, alhasil proses pembelajaran dan berbagi ide dan informasi itu bukan hanya ada dalam forum dan grup-grup diskusi selama di Poso saja, namun justru berlanjut dan makin kental dan keras mengkristal dalam diskusi-diskusi diruang grup jejaring sosial, dan menjadi syarat dengan kata rindu dan kepedulian karena sudah terbangun rasa dan karsa untuk saling menopang dalam berkarya.
dan waktu lima hari akhirnya menjadi sangat singkat, rasanya kok masih saja ada hal yang terlupakan untuk dibagi dan masih lagi ada yang ingin disampaikan.
Hingga bagi saya secara pribadi saya tidak lagi menemukan sekedar mitra berdiskusi namun lebih dari itu saya menemukan para saudara perempuan yang luar biasa, yang tersebar dan meretas diseluruh Indonesia, hingga tak segan lagi saya meminta tolong pada mereka, agar ikut menyuarakan pergumulan saya selama ini
Maka, ketika kemenangan itu mulai menampakan wujudnya, saya tak lagi merasa itu adalah kemenangan saya semata. tapi kemenangan seluruh perempuan yang nyambung rasa di Dodoha-Musintuwu -Poso, dan siap menjawab seruan ” Hoyaiiooooo dengan kata Pakaroso!!!!….Karena kau hawa, kau meretas batas.