Kamu perempuan? Sudah di rumah saja!
Saya perempuan dan saya boleh kemanapun!
Kamu perempuan? Sudah jangan sekolah tinggi tinggi!
Saya perempuan dan saya harus sekolah tinggi!
Kamu perempuan? Pakai baju tertutup!
Saya perempuan dan tubuh saya adalah otoritas saya!
Kamu perempuan? Sudah diam saja!
Saya perempuan dan saya punya suara!
Kamu perempuan? pelankan suaramu!
Saya perempuan dan saya ingin teriak!
Tangan jahil patriarki telah sangat lama membungkam suara perempuan. Lebih mengerikan lagi jika kemudian pembungkaman itu “meminjam” tangan sesama perempuan itu sendiri. Suara perempuan diredam, dijadikan sebagai suara kedua yang tidak perlu didengarkan dan diperdengarkan. Hingga akhirnya banyak perempuan di luar sana yang mengendapkan suara-suara hanya di kepala, berputar di pikiran. Produksi pengetahuan telah menempatkan perempuan sebagai liyan. Menjadi liyan berarti menjadi bayang-bayang dan dibayang-bayangi.
Kita (para perempuan) sudah sangat lama dipermainkan oleh patriarki. Seperti boneka Barbie yang dipakaikan baju, disisirkan rambut, dan digerakan sesuai kehendak, serta dibentuk untuk mencapai kata “ideal”. Sayangnya, banyak dari kita mengejar “ideal” dan terus mereproduksinya. Padahal, “ideal” itu belum tentu ramah pada semua perempuan. Misalnya, konsep cantik yang terus berubah-ubah dan sangat cair. Sudah saatnya perempuan melepaskan diri dari definisi yang diciptakan untuknya dan memproduksi definisi mereka sendiri. Sekarang dan seterusnya adalah saat untuk menyingkirkan tangan patriarki yang membungkam perempuan. Agar suara-suara tidak hanya berputar di kepala. Tetapi, diteriakkan.
Seperti yang selalu diteriakkan dengan lantang di Dodoha Mosintuwu, Pakaroso! Pakaroso adalah kata dalam bahasa Poso yang berarti ajakan untuk saling menguatkan. Iya, perempuan harus saling menguatkan untuk menggugat dan melawan ketimpangan dan ketidakadilan. Semangat inilah yang kemudian diadopsi oleh Peretas Berkumpul 01: Pakaroso! Dengan semangat saling menguatkan, perempuan-perempuan yang hadir saling berbagi cerita, pengalaman, kerisauan, hingga rahasia yang tentu saja akan tetap menjadi rahasia. Tujuannya tidak jauh dari semangat pakaroso tadi.
Ketika mendapat surat elektronik dari Peretas, tentu saja saya merasa senang luar biasa dan tiada terkira. Pertama, akan ada perjalanan dan cerita baru di tempat yang belum pernah saya kunjungi. Kedua, berjejaring sebagai awal dari kolaborasi yang entah apa di kemudian hari. Ketiga, mendengar pengalaman orang lain yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Saya lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Dengan diam dan mendengarkan, saya menyimak cerita dan merekam peristiwa yang kemudian bisa menjadi repertoar untuk cerita pendek saya. Dan melalui pertemuan-pertemuan seperti inilah saya menemukan surga ide. Benar saja, saya pulang dengan setumpuk stok ide cerpen—yang satu di antaranya adalah dongeng yang telah direkam oleh difalitera.org, sementara sisanya sampai saat ini sedang menunggu waktu untuk diselesaikan. Ya, ternyata kolaborasi pertama dengan peserta lain dimulai saat itu juga. Menyenangkan!
Menjadi salah satu perempuan di dalam lingkaran Peretas Berkumpul selama 21—25 Maret 2019, tentu meninggalkan kesan dan memberikan pengalaman yang luar biasa. Menyimak suara-suara dari teman-teman perempuan soal kegiatan mereka, tantangan yang dihadapi, dan masih banyak lagi. Menyimak bagaimana mbak Rhidian Yasminta Wasaraka membongkar paradigma tentang masyarakat Korowai melalui riset dan publikasi. Menyimak cerita ibu-ibu pejuang perdamaian di tanah Poso, tentang bagaiamana diplomasi dilakukan melalui bakul jualan ikan. Sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya.
Tidak hanya sebatas cerita dan pengalaman, kegelisahan juga bertambah. Saat Kak Lian Gogali bercerita mengenai riset tesisnya yang mengangkat persoalan Poso pasca kerusuhan, muncul satu pertanyaan “Setelah riset ini selesai, lantas apa?” kurang lebih begitu kalimatnya. Pertanyaan yang kemudian serasa menjerat leher saya dan menonjok-nonjok dada. Sedikit berlebihan memang. Tapi begitulah adanya, seperti ada yang melonjak dalam dada ketika mendengar pertanyaan yang sebenarnya tidak ditujukan kepada saya. Tetapi, saya merasa tersindir.
Pertama kali menulis cerita pendek tentang ekspresi gender pada cerpen “Maskara” (https://riyanarizki.wordpress.com/2017/03/08/maskara/), tidak pernah sedikitpun terpikirkan “Sesudah menulis, lantas apa?” Apa yang didapat oleh orang-orang yang sama dengan tokoh cerita. Kemudian, teringat lagi pada cerpen-cerpen lainnya. Sesudah cerpen-cerpen itu saya tulis dan terpublikasi, lantas apa? Saya pun memikirkan kembali rencana menulis dongeng yang berkaitan dengan kekerasan pada perempuan, untung-untung jika bisa mengurangi angka pernikahan usia anak. Tapi kemudian saya sangsi. Sebesar apa kekuatan dongeng (dan cerpen-cerpen saya) untuk bisa menyelesaikan isu besar seperti itu?
Jalan ke sana masih sangat panjang. Proses masih akan sangat lama. Tetapi apapun itu, kita (perempuan) harus tetap bersuara, tidak boleh diam dan terbungkam. Melalui Peretas Berkumpul, saya menemukan perempuan-perempuan yang terus bersuara. Ada banyak cara untuk mengeluarkan suara-suara dari kepala mereka. Mereka “berteriak” dengan cara mereka sendiri-sendiri untuk menolak repsresi patriarki. Melalui riset perempuan, membangun ruang perempuan, edukasi perempuan, eksplorasi dan ekspresi melalui seni (rupa, pertunjukan, hingga sastra), juga melalui rajutan dan sulam. Dengan terus bersuara—mengeluarkan suara dari kepala—pada akhirnya suara sekecil apapun akan terdengar. Iya, meski kecil dan tidak hampir tidak mungkin terdengar, saya akan terus bersuara melalui dongeng dan cerita pendek.
Satu perempuan bersuara mungkin masih akan terdengar sayup. Tetapi, jika Perempuan Lintas Batas Berkumpul, bersuara bersama-sama, tidak menutup kemungkinan keriuhan akan terjadi di luar sana. Wahai perempuan, mari bersuara untuk menggunggat ketimpangan dan ketidakadilan.
Wahai perempuan, PAKAROSO!
Masbagik-Lombok Timur, 22 Mei 2019
Riyana Rizki Yuliatin