Pada tanggal 20 s/d 26 Maret 2019 lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan Peretas yang bertempat di Poso, sebelum terpilih menjadi bagian dari Peretas saya harus mengikuti seleksi terlebih dahulu dengan mengisi form secara online. Singkat cerita saya terpilih menjadi salah satu dari 50 peserta yang akan berkumpul di Poso.
Pertama kali mendapat informasi melalui Email bahwa saya lolos seleksi, saya sangat senang luar biasa karena saya akan pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi dan pastinya akan bertemu dengan perempuan-perempuan yang belum pernah saya temui juga, akan tetapi dalam hati saya ada sedikit perasaan tidak percaya diri karena satu hal yaitu, ketika saya memberitahukan kepada Direktur Organisasi bahwa saya lolos seleksi, bukan apresiasi yang diberikan, melainkan semacam celetukan yang seakan menegaskan bahwa saya lolos seleksi karena saya mendapatkan privilage karena Direktur saya kenal baik dengan Direktur Institute Mosintuwu yang merupakan tempat berlangsungnya kegiatan Peretas. Agak kecewa ketika upaya saya untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru tidak direspon dengan baik. Namun saya yakinkan diri saya sendiri bahwa niat saya baik, mencari pengalaman dan pengetahuan yang sekiranya tidak bisa saya dapatkan dalam organisasi, toh dalam pendampingan kelompok akar rumput yang selama ini saya dampingi, sangat membutuhkan ketrampilan dan pengetahuan tentang seni, sementara semua kegiatan yang berhubungan dengan kesenian dilimpahkan kepada saya yang notabene bukan pegiat seni.
Adanya kegiatan Peretas ini menjadi titik terang dan harapan bagi saya, barangkali dengan bertemu, berinteraksi dan berdiskusi dengan perempuan yang fokus bekerja di bidang kesenian dapat meningkatkan kapasitas saya dalam melestarikan kesenian yang sedang kembali dihidupkan oleh komunitas dampingan saya.
Berawal dari optimisme mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru saya berangkat ke Poso bersama teman-teman dari Jawa Timur lainnya, hari pertama saya tiba di Poso rasanya badan pegal dan pusing karena sudah cukup lama saya tidak melakukan perjalanan jauh dengan medan yang lumayan bikin kepala pusing, tapi lelah diperjalanan hilang ketika mendapati pemandangan alam dengan udara yang sangat sejuk. Saya bahagia melihat beberapa tumbuhan liar yang tumbuh di dekat tempat penginapan seperti tanaman putri malu, kumis kucing dan berbagai tanaman berbuah lainnya, apalagi setelah melihat danau yang luar biasa dengan air yang sangat jernih, aku menyebut Tentena sebagai serpihan surga yang jatuh di Sulawesi. Berkali-kali saya mengucap syukur karena telah diberi kesempatan untuk menginjak tanah Poso, menyentuh dedaunan dan meneguk air Purba dari Danau Poso, kalau bukan karna Peretas mana bisa saya ke tempat seindah ini.
Hari kedua di Poso adalah hari dimana kegiatan akan dimulai, dimana kami berkumpul dalam satu ruang yang bernama rumah bambu Dodoha Mosintuwu, kami berkenalan, menyepakati kode etik, memilih komite kode etik serta melakukan beberapa upacara penyambutan diantaranya yaitu upacara Pepa Mongoka yaitu peserta dipersilahkan untuk mengunyah sirih pinang sebagai simbol bahwa kedatangan kami sudah diterima di Tentena, benar-benar pengalaman yang luar biasa bagi saya, sekali lagi saya merasa terberkati. Selain upacara Pepa Mongoka kami juga disambut oleh Direktur Mosintuwu Ka Lian Gogali, saya sudah sering sekali mendengar nama beliau, dan akhirnya hari ini bertemu juga. Ka Lian menceritakan tentang legenda danau poso dan bagaimana kekuatan perempuan jaman dulu menjaga kelestarian alam dengan menggunakan seni dan budaya. Sempat terfikir ingin bertanya kepada beliau secara pribadi “apakah saya lolos karna Direktur saya kenal ka Lian?” tapi tidak jadi saya lakukan karena saya fikir bahwa otoritas pemilihan peserta sepertinya bukan jadi otoritas Ka Lian.
Hari itu saya benar-benar excited sekaligus kembali minder karena di beberapa papan ada tulisan “ada pertemuan perempuan pekerja seni”, saya minder karena 49 peserta yang saya temui adalah benar-benar perempuan yang ahli dibidang seni, baik seni tari, seni rupa, literasi dan banyak lainnya, sementara saya hanya perempuan biasa yang bekerja dan memiliki ketertarikan untuk menggunakan kesenian sebagai media healing bagi perempuan yang mengalami kekerasan secara struktural. Tapi rasa senang lebih mendominasi dibandingkan dengan rasa minder karena teman-teman peserta sangat bersahabat meskipun baru kali pertama bertemu. Saya juga merasa sangat bersyukur ditengah kejenuhan menggeluti kerja-kerja dalam gerakan feminisme akhirnya dipertemukan dengan banyak perempuan muda yang sulit saya temukan di lingkungan kerja maupun di lingkungan tempat tinggal.
Yang paling menarik dari kegiatan Peretas berkumpul ini adalah metode yang digunakan yaitu, Unconference conference, dimana tidak ada TOR dan rundown acara. Bagi saya ini adalah metode yang baru dan sangat menarik karena menempatkan semua peserta sebagai sumber pengetahuan. Peserta diminta untuk menuliskan potensi dan kebutuhan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Peserta diperbolehkan berkolaborasi untuk sharing pengetahuan dalam bentuk FDG, workshop maupun Pleno. Semua potensi pengetahuan dari peserta adalah baru bagi saya, namun sayangnya saya tidak bisa mengikuti semua kelompok diskusi, workshop maupun pleno, saya hanya bisa memilih beberapa tema kegiatan setiap harinya.
Selama kegiatan Peretas berlangsung saya mengikuti bebepa tema yaitu kelas Pengajian Seni, Kelas Pod Cast, kelas Manajemen Seni, Pleno Gerakan Perempuan Akar Rumput, Kelas Fotografi dan identitas, kelas bisnis berbasis komunitas, Wrokshop Mural di PAUD, Pleno tentang Perempuan Suku Korowai, workshop tentang Ecoprint, pleno Dialog bersama Perempuan Akar Rumput dan Pleno Gerakan Kolektif Perempuan. Materi-materi diatas adalah pengetahuan baru dan sangat menginspirasi bagi saya. Sampai disini saya kembali merasa belum berbuat apa-apa untuk perempuan-perempuan di sekitar saya khususnya kepada diri sendiri, karena saya belum bisa menciptakan ruang berekspresi di daerah saya sendiri, banyak perempuan muda yang sangat menginspirasi seperti Citra Hasan dan Kezia, saya tertarik untuk membuat perkumpulan atau komunitas yang dapat menjadi wadah bagi perempuan muda di Gresik untuk belajar bayak hal tentang kesenian, karena memang di daerah saya belum ada ruang yang terbuka dan aman bagi perempuan untuk bertukar gagasan dan berekspresi.
Selama mengikuti kegiatan Peretas di Poso, banyak sekali pelajaran yang bisa saya bawa pulang dan saya bagikan kepada komunitas dampingan saya di Gresik, bahkan komunitas Arek Feminis Surabaya juga menjadi tempat berbagi pengetahuan yang saya dapatkan dari Poso, saya menyampaikan bahwa Komunitas Arek Feminis dapat menggunakan Pod Cast untuk mengisi kampanye di Media Sosial dan kami juga sedang berupaya menyusun rencana membuat workspace di Surabaya sebagai media bertukar gagasan.
Kegiatan Peretas sangat menginspirasi dan menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tak terbatas bagi saya secara pribadi dan semakin menguatkan keinginan untuk membentuk kolektif perempuan yang selama ini belum ada di Kabupaten Gresik. Saya sangat optimis teman-teman Peretas bisa menjadi Supporting System yang solid untuk perkembangan kolektif-kolektif perempuan yang ada di dearah. Pastinya masih banyak pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan selama mengikuti kegiatan Peretas yang tidak bisa saya tuliskan secara lengkap, semoga semakin banyak perempuan yang memiliki kesempatan yang sama seperti saya, saya bangga menjadi bagian dari Peretas 01 Pakaroso!.
Salam,
Rinta