Satu hari sebelum konfirmasi terakhir keberangkatan peserta Peretas Berkumpul 01 aku sempat ragu dan dilema. Aku sangat senang karena mendapatkan kesempatan yang luar biasa dan mungkin tidak akan pernah terulang lagi dalam hidupku. Namun terus terang ada ketakutan yang menyelinap di dada. Pertama, karena ini adalah pertama kalinya aku pergi ke luar pulau sendirian (tanpa teman atau keluarga, benar-benar sendiri). Kedua, ketika mendengar kata Poso ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk yang terlintas di kepala (aku cukup overthinking). Untuk mematahkan ketakutan yang kedua dan meyakinkan diri untuk berangkat, sebelum menghubungi mbak Yuri via email aku sempat mengontak beberapa teman yang berdomisili di Sulawesi untuk memastikan Poso aman dan tidak seperti yang dikabarkan oleh media. Akhirnya dengan keyakinan yang kuperoleh dari informasi yang terbatas, aku memutuskan untuk berangkat dan keluar dari zona nyamanku selama ini. Dan keputusan yang kuambil sangat tepat, karena jika tidak, mungkin aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena tunduk pada ketakutan yang berlebihan itu, seumur hidupku.
Aku pergi dengan segala hal yang repot, sebab menjelang hari keberangkatan aku masih disibukkan dengan urusan penerbitan novel pertamaku yang semuanya kulakukan sendiri. Mulai dari kontak dengan penerbit, angkat-angkat kotak, mengantar buku kepada pembeli, sampai mengurus sendiri acara launching buku. Aku terbang menuju Makassar dengan perasaan lelah, takut dan jengkel. Jika mba Naomi dalam video reflektifnya di grup mengeluh soal pesawat, aku juga demikian. Bahkan sebelum bertemu dengan pesawat ayam, aku terus mengalami hal yang tidak mengenakkan selama penerbangan menuju hingga sekembali dari Poso. Mulai dari pesawat yang dibuat serasa bus (yakali ada penumpang yang bawa keranjang dalam kabin :((( ), urusan administrasi yang kacau, sampai pada penumpang yang tidak teredukasi (kalau tidak sampai hati bilang norak karena aku bertemu penumpang yang live facebook menjelang take off dan landing :))) ). Ya begitulah, pokoknya di dalam pesawat itu aku cukup stress dan tidak menikmati perjalanan, tapi hikmahnya aku jadi punya analisa sendiri kenapa pesawat singa sering memberi kabar buruk.
Sesampai di Poso aku dapat sedikit menarik napas lega, aku menikmati perjalanan menggunakan mobil meskipun saat itu dilanda kantuk yang luar biasa. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Dodoha Mosintuwu dan menyelupkannya ke Danau purba ada perasaan bersyukur yang luar biasa. Lalu bersama angin yang menerbangkan rambutku lembut, pelan-pelan ada melodi yang terngiang sama lembutnya. “Is this the place that I’ve dreaming of ?” penggalan lirik lagu milik Keane yang bisanya hanya bisa kunyanyikan bersama gitar di depan rumah, kini benar-benar membawaku pada satu tempat yang aku impi-impikan. FYI teman-teman, aku punya mimpi membangun rumah di tepi danau atau di bawah bukit dan 5 hari berada di Dodoha membuatku mencicipi mimpi itu terlebih dahulu sebelum benar-benar mewujudkannya.
Hal pertama kurasakan ketika seluruh peserta Peretas Berkumpul 01 berada dalam satu forum adalah “keberagaman”. Aku bahkan sempat mengutarakan ini pada teman-teman, “aku melihat seperti inilah seharusnya Indonesia”. Mungkin ini adalah hal biasa yang sudah kalian temui sehari-hari, tetapi bagiku ini sebuah moment yang luar biasa. Momentum di mana aku dapat melihat 50 orang yang berada dalam satu ruangan benar-benar berwarna. Setiap orang seperti menjadi dirinya sendiri, dengan gaya berpakaian, aksesoris yang dipakai, serta cara setiap orang mengekspresikan dirinya sendiri. Percayalah teman-teman, jarang sekali aku menemukan hal seperti ini, karena di tempatku semua orang berpakaian dengan cara yang sama dan kalau boleh meminjam pernyataan Lia (my roommate selama di Tentena) “mungkin beli bajunya juga di tempat yang sama.” Tidak ada maksud untuk mengomentari penampilan seseorang, hanya ingin mengungkapkan keunikan pertama yang kudapat ketika berinteraksi dengan seluruh peserta.
Lalu mengenai keseluruhan pertemuan sejak hari pertama hingga terakhir, aku akan mengulasnya secara singkat, dimulai dari metode unconference conference yang dipakai. Bagiku itu seperti mempertemukan banyak simpul dalam satu ruang yang di mana simpul-simpul tersebut mencari ruangnya sendiri (lagi). Lagi-lagi ini sesuatu yang baru bagiku, dan saat metode tersebut bekerja dengan sangat baik di situlah aku menyadari kekuatan dari seluruh peserta yang hadir. Betapa semua orang yang ada di tempat itu adalah guru, tidak ada pendapat yang tak layak dengar, semua orang menempatkan dirinya setara tak peduli seberapa lama waktu dan pengalaman telah membawanya menemui ruang-ruang yang lebih hebat. Lagi-lagi aku merasa bersyukur dan banyak mengoreksi diri. Aku ingin menyerap banyak hal tapi energiku terbatas, bahkan hanya untuk mengobrol dan menyapa seluruh peserta secara personal (hal yang cukup aku sesali tapi berhasil aku maklumi). Ada banyak sesi yang ingin sekali ku ikuti tetapi harus memilih mana yang lebih kubutuhkan karena jadwalnya bentrok (seperti sesi kak Hana; sampai sekarang masih kesal karena gak bisa ikutan, lalu sesi bikin podcast bareng Tria, bikin ecoprint sama Mbak Novi dan Mbak Lusi, kelas dongeng dll). Rasanya semua pengetahuan yang ada di sana kubutuhkan dan terlalu sayang untuk dilewatkan (karena nggak tau kapan lagi kesempatan seperti ini datang menghampiriku).
Banyak sekali hal berkesan yang kurekam tidak hanya dalam catatan-catatan kecil atau voice record namun juga membekas dengan sangat rinci dalam ingatan. Terutama soal pengalaman-pengalaman yang menginspirasiku. Aku sangat termotivasi oleh gerakan akar rumput yang dibangun kak Liyan lewat sekolah perempuan, betapa tersentaknya aku oleh kesadaran bahwa pengetahuan adalah alat utama perlawanan. Selama ini pernyataan itu tidak pernah benar-benar membuatku menganggukkan kepala dan benar-benar menyadari kekuatannya. Mendengar cerita kak Liyan dan ibu-ibu di Poso aku punya keyakinan yang lebih setelah kembali, dan punya mimpi besar untuk membantu orang-orang di sekitarku mendapatkan akses tersebut.
Lalu, cerita-cerita soal pengalaman mendirikan serta mengelola space benar-benar berarti untukku, karena sejak sebelum berangkat ke Poso hingga sekarang saat aku menuliskan catatan reflektif ini, keinginan untuk menciptakan sebuah ruang yang aman dan nyaman untuk berbagi pengetahuan masih memenuhi kepalaku dan sedang mencari jalan keluar untuk mewujudkannya. Setelah itu, sesi diskusi mengenai sastra, literasi dan keresahan-keresahan di dalamnya membuatku merenung dan mempertanyakan kembali banyak hal. Siang itu di tepian Danau Poso yang asri kami saling mengungkapkan keresahan, berbagi pengalaman dan cerita. Pertanyaan serta cerita yang terkumpul di sana aku bawa pulang ke kotaku yang punya permasalahannya sendiri. Terakhir, aku sangat senang bisa ikut kelas soal etika seni. Sama seperti kelas sastra, sesi ini juga membuatku banyak merenung. Dan di kelas ini lah aku pertama kali lihat mba Gitta jadi moderator lalu terobsesi untuk menjadi seorang moderator yang krweeennn sepertinya hihiiii.
Kenapa catatan ini aku tulis sebagai pertemuan banyak simpul, karena Peretas Berkumpul 01 seperti sebuah magic bagiku. Ada banyak hal yang menjadi pertanyaanku setahun belakangan ini kemudian menemukan muaranya di sana. Ada yang langsung bertemu jawaban ada yang mendekati jawaban. Banyak yang membuatku menyadari sesuatu, namun juga banyak hal yang menambah kegelisahanku. Barangkali tidak berlebihan jika kukatakan bahwa bertemu dan berkumpul bersama teman-teman di Dodoha Maret lalu adalah bagian dari perjalanan spiritualku. Sebuah perjalanan yang turut serta membuatku tumbuh secara spiritual, mental dan pengetahuan.
Bagian yang terakhir ini adalah sedikit kecemasan dan hal-hal yang belum sempat diungkapkan. Pengalaman pertama merasakan gempa, membuatku tidak menikmati hari-hari terakhir di Dodoha. Ingin segera kembali ke Kalimantan (ternyata sampai Kalimantan gempanya nyusul ikutan ke sana hiks). Gempa membuat rasa cemas berlipat ganda dan energi yang semestinya masih bisa dipakai untuk berinteraksi dengan teman-teman jadi teralihkan. Lalu sampai saat ini aku masih terngiang-ngiang masakan di Dodoha juga minuman hangat JAMALE (jahe madu lemon) yang cukup membantu menurunkan rasa cemas. Cukup menyesal juga kerana hanya satu kali mandi di Danau Poso (dan habis itu gempa, kan ngeri :))) ).
Pada akhirnya, lima hari berada di tempat terbaik bersama orang-orang terbaik telah memberikanku banyak sekali pelajaran. Mungkin juga akan membuka jalanku bertemu kesempatan dan orang baik selanjutnya. Setahun belakangan ini bukanlah hal yang mudah bagiku, tekanan-tekanan kuat terus terjadi dalam hidupku. Aku bahkan sempat meragukan eksistensi dan keberadaanku sebagai seorang manusia. Seperti segala hal baik menguap begitu saja dalam hidupku, berganti kesialan dan hal-hal buruk yang datang terus menerus. Namun, di tengah perjalanan aku justru dipertemukan dengan banyak perspektif baru, menoreh banyak kekuatan baru. Pada saat itu aku sadar, kalau semesta menyayangiku, aku tidak terlahir sia-sia. Aku hanya sedang tumbuh-tumbuhnya, dan Peretas Berkumpul 01 memberikanku banyak energi positif. Bertemu kalian membuatku lebih menyayangi diri sendiri dan merasa beruntung. Terimakasih mba Naomi, mba Yuri, mba Dhyta atas ide untuk mempertemukan banyak perempuan yang (mungkin) saling membutuhkan semua ini. Terimakasih Jubata dan Semesta karena pertemuan ini aku menyadari hal yang sangat penting dan kini menjadi pegangan hidupku; bahwa Kuat saja tidak cukup jika tidak saling menguatkan !
Peluk hangat, Restiana.