“Men have power, while women have strength”
Aku tidak ingin anak perempuanku dan perempuan-perempuan lain terkungkung dalam “perlindungan yang menindas”. Teringat ketika kecil, aku selalu ingin menjadi anak laki-laki, selalu bertanya ke mana burungku (untuk menyebut alat vital lelaki)? Karena aku tidak ingin diperlakukan berbeda, dilindungi secara berlebihan, terlebih ketika perlindungan itu sendiri mendatangkan pelecehan yang yang banyak dialami perempuan lain yang akan diingat hingga dewasa, tersimpan dalam memori yang tak bisa dihapus, melegitimasi kekuatan lawan jenis sekaligus melemahkan pikiran perempuan.
Dengan berbagai aturan yang dikaitkan dengan norma, keterkaitan yang melekat pada perempuan seperti tubuh, kodrat, seksualitas yang konon katanya melindungi perempuan, namun sebenarnya dalam kenyataan justru menindas, mengekang, dan membatasi ruang gerak dengan simbol-simbol yang diciptakan. Sebuah kecantikan yang mematikan. Bagai sangkar emas yang seolah menempatkan burung secara istimewa namun sebenarnya memenjarakan. Dengan berbagai aturan seolah perempuan itu lemah, tak berdaya, dibuat tidak bisa mengatur hidupnya sendiri, bahkan tidak tahu aturan, simbol-simbol dibuat untuk melemahkan praktik kerja perempuan.
Berpikiran bebas tidak serta merta membawa keberanian. Banyak perempuan pemberani yang kukagumi, berpikir ribuan kali pun seringkali tak membuatku merasa cukup mempunyai keberanian untuk bertindak, mendobrak aturan-aturan dengan mempertaruhkan relasi dan penghakiman publik dan stigma negatif terhadap orang terdekat dan keluarga. Tulisan ini adalah sumbangan pemikiran reflektif peretas berkumpul 01: Pakaroso! Mengenai apa yang mendorongku untuk terlibat, kurasa, kusimpan dalam ingatan, dan kurajut kembali menjadi tulisan singkat.
Semangat untuk memelihara persaudarian (nurturing sisterhood), menciptakan, dan memuaskan keinginan akan ketersambungan (connectedness) dan merajut kebersamaan sesama perempuan dari berbagai elemen kutemukan dalam peretas berkumpul 01: Pakaroso! Isu-isu yang selama ini membelenggu dan membatasi ruang gerak perempuan, menemukan ruang yang aman dan bebas dari penghakiman publik, penghakiman yang menjadi momok bagi perempuan.
Perempuan harus berani melintasi batas / sekat-sekat untuk sebuah pencarian yang tidak ringan dan tidak asal-asalan dalam mencari kesejatiannya. Purnama di Poso menghadirkan itu. “Unconference conference” menjadi sangat menarik terkait dengan tindakan /gerakan yang berani untuk “berpikir sendiri”, melepaskan diri dari keterkungkungan aturan, perlawanan rasional terhadap rasionalitas patriarki dan diri sendiri. Mengatur sendiri apa yang ingin dicari dan apa yang ingin dibagi dalam waktu kurang dari 5 hari, sungguh di luar dugaan bisa berjalan dengn sangat baik, hidup dan dinamis. Selain hard skill dan soft skill, juga ada sesi-sesi yang mengetuk nurani, mengasah sisi kemanusiaan. Olah raga, olah rasa/karsa, olah hati, olah jiwa, dan olah pikir terelaborasi dengan cantiknya dalam pergumulan selama lima hari di dalam ruang bernama perut ikan.
Kemampuan dan kemauan bersama untuk memeriksa diri, menghasilkan energi yang saling menguatkan untuk proses dekonstruksi-rekonstruksi masing-masing individu. Sebuah
keterbukaan (open minded arrangements) yang menghasilkan energi positif, dinamis dan organik, memenuhi kebutuhan psikologis untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Peretas mempertemukan hard and soft needs between communities. Saling mengisi antar kolektif melalui kelas-kelas yang diatur sendiri, menjadi simbiosis antar kolektif dan komunitas. Memperkaya hard skill dan soft skill untuk berkarya lebih lanjut.
Tiap individu adalah sumber pengetahuan, dengan modal segala atribut, latar belakang, kemasan dan pengalaman hidup tiap orang yang berbeda merupakan suatu pencerahan, dimana sikap saling menghargai, kerendah hatian dan kemanusiaan kita diasah sekaligus. Di sini saya melihat dan merasakan bagaimana perempuan sebagai pendidik yang utama dan utama harus mempunyai keberanian membebaskan setidaknya pikirannya. Keberanian melintas batas, berdamai dengan diri sendiri, menemukan ruang-ruang dialog yang aman, untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik. Membangun kesadaran bahwa tiap individu adalah sumber pengetahuan, tidak menghakimi, menerima perbedaan sebagai anugerah. Dialog-dialog seperti ini sangat dibutuhkan terutama bagi perempuan dalam praktek berkeseniannya, juga karena perempuan adalah penerus kehidupan. Menjaga kehidupan dari ancaman intoleransi dan radikalisme. Hidup harus dijaga, dibela, dipelihara, dan dipromosikan melalui praktik kerja seni perempuan. We have to live and let live peacefully. Kedaulatan dan keberlanjutan (sustainability) menjadi kata kunci yang sangat bermakna. Embrio peretas dari rahim rumah perut ikan di danau Poso telah lahir diterangi purnama. Kelahiran yang ditandai guncangan gempa di pagi hari. Meretaslah di manapun kau berada sekehendak semesta, melalui aliran air dan angin yang membawamu terbang. Kebersamaan persaudarian selamanya beserta kita, karena lahir dari rahim yang sama. Pakaroso!
-Malang, 10 Mei 2019-