Memutuskan untuk kembali ke kota asal pada September 2018 lalu membuatku harus beradaptasi lagi dengan lingkungan. Seperti Hawa yang terlempar ke bumi, mencari-cari Adamnya. Aku pun mencari-cari tempat menuang gairah dan gelisah mengenai dunia yang telah kupilih, kesenian (terutama Seni Rupa). Pilihan yang kutempuh dengan menentang larangan Bapak-ku.
Surabaya memang bukan Yogyakarta (kota yang hampir dua tahun sebelumnya kutinggali) yang sudah begitu mengakar iklim keseniannya, Surabaya seperti harus dibajak, digemburkan tanahnya bertahun-tahun terlebih dulu baru dapat ditanami dengan tumbuhan bernama kesenian, walau tak ada jaminan untuk tumbuh subur.
Seroja ku Sayang, Seroja yang Malang
Satu hal yang kuharap dapat membantuku beradaptasi kembali adalah kolektif yang kubentuk pada tahun 2017 dengan beberapa kawan yang semua perempuan. Seroja, nama dari kolektif kami. Semua anggotanya berasal dari kampus yang sama, STKWS (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya). Awal terbentuk karena suka cita akibat satu angkatan yang memiliki mahasiswi paling banyak, yaitu sepuluh orang, sebelumnya mahasiswi jurusan Seni Rupa maksimal hanya tiga sampai lima orang.
Pada Februari 2017 aku harus meninggalkan Surabaya sekaligus Seroja untuk terbang ke Yogyakarta, sebab aplikasi residenku diterima. Sembari memenuhi kewajiban residen, aku membagi konsentrasi dengan aktivitas pameran yang telah digagas sebelum aku cabut ke Yogyakarta. pameran pertama (April 2017) dan kedua pada September 2017 terlaksana dengan baik (aku sangat berterimakasih pada kawan-kawan yang tetap gigih mengusahakan), namun setelahnya tak ada lagi kegiatan serupa, kolektifku mati suri.
Menebus rasa bersalah karena meninggalkan Seroja, aku menggagas sebuah aktivitas pameran, bertajuk “Puan Menyala”. Aktivitas pameran tersebut berjalan pada Desember 2018. Tema yang kami usung saat itu mengenai identitas perempuan yang dibenturkan dengan pendapat umum mengenai peran-peran perempuan yang masih identik dengan 3M “macak, masak, manak” (berdandan, memasak, melahirkan). Masing-masing dari kami menghadirkan karya dengan perspektif mengenai dirinya, bicara mengenai tubuh perempuan, pengalaman bergelut dengan anak-anak korban bencana, cerita-cerita masa remaja yang dirangkum dalam buku diary, dan banyak lagi yang lain. Karya yang hadir berupa lukisan, patung dan instalasi. Pameran kali ini anggota kami bertambah menjadi lima belas orang, tentu saja penambahan tersebut dari angkatan sesudahnya.
Proses menghadirkan pameran tersebut bukan tanpa intrik di dalamnya. Lima belas kepala dengan isi kepala yang berbeda, proses seakan menjadi berat terutama untukku yang saat itu kembali menjadi ketua pelaksana sekaligus konseptor kuratorial, intrik yang pada akhirnya menjadi permasalahan personal antar anggota. Email dan media sosial Seroja di nonaktifkan oleh seseorang sehingga publikasi menjadi tidak efektif, yang parah kemudian identitasku sebagai lesbian menjadi sangat dipersoalkan, tiba-tiba beberapa anggota menjadi homofobik. Pameran terlaksana sesuai tanggal yang ditentukan, sambutan media-media lokal terhadap Seroja cukup besar, menjadi yang cukup kusyukuri.
Niat awal ingin membangun kembali Seroja, setelah pameran tersebut aku menjadi sangat terpukul di tengah rasa syukur. Seroja seakan hidup tak mau, mati juga enggan, pun aku.
Menemukan Toksik
Tubuh seakan menagih obat untuk segala luka, mungkin semesta ikut merasakannya (boleh ya sedikit lebay). Tiba-tiba pesan whatsapp masuk dari seorang teman kurator di Surabaya, isinya sebuah link yang didalamnya berisi perekrutan peserta aktivitas berkumpul bagi perempuan pekerja Seni Budaya bertempat di Dodoha Mosintuwu, Poso. Yang diinisiasi oleh Peretas. Seperti ada dorongan untuk cepat merespon, membaca pengantar di dalamnya,
“Ini menarik”, batinku.
Seketika aku mengisi beberapa pertanyaan pada form yang ada, dan langsung mengirimnya. Bila kutunda khawatir akan terlupakan. Namun seperti ada sesal mengapa harus mencantumkan mengenai identitasku sebagai lesbian pada akhir pertanyaan mengenai tambahan penjelasan mengenai diri yang dirasa tidak cukup terwakili oleh pertanyaan sebelumnya. Sesal karena ingat intrik di Seroja.
Aku menerima email dari Peretas pada 9 Februari 2019. dan baru kubuka di tanggal 11 Februari, aku ingat betul karena bertepatan dengan kesibukan yang luar biasa di tanggal tersebut. Isinya adalah bahwa aku di diterima sebagai salah satu peserta yang diundang, juga beberapa kelengkapan yang harus aku kirimkan sebagai syarat tambahan. Ada yang tergelak-gelak bersorak sorai di hati. Membayangkan tempat indah itu (sebelumnya telah ku- kepoin), lalu akan bertemu dengan penggiat-penggiat Seni Budaya dari seluruh Indonesia, ini “ Wow” banget.
Tanggal keberangkatan sudah ditentukan, 19 Maret 2019. Aku tak sendiri, ada tiga lainnya yang akan berangkat dari bandara Juanda Surabaya menuju Makassar. Debaran jantung jadi sedikit berkurang karena sebenarnya aku tak nyaman dengan transportasi udara. Kami akan transit delapan jam di Makassar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Poso esok pagi (20 Maret 2019) sekitar pukul 08.00. Bertolak dari Makassar menuju Poso ada kawan-kawan dari penjuru daerah lain yang satu penerbangan.
Perjalanan yang cukup panjang terbayar, sebab semua indera dimanjakan,
“Selamat datang di Dodoha Mosintuwu”, sambil mengulurkan tangan seorang perempuan menyambut kami begitu ramah (baru tersadar, sapaan itu dari kak Lian Gogali).
Cihui Wahana
Kami memulai aktivitas keesokan pagi, 21 Maret 2019. Mengawalinya, kami diminta untuk memperkenalkan diri satu persatu. Lima puluh undangan dari seluruh Indonesia, tak bisa diungkapkan rasanya, mereka perempuan-perempuan menarik dan hebat di bidang masing-masing. Astaga, aku merasa bukan apa-apa di antara mereka.
Kemudian, salah satu dari Peretas (mbak Naomi Srikandi) memaparkan bagaimana aktifitas di Dodoha Mosintuwu akan berlangsung. Intinya aktivitas yang terjadi akan kami ciptakan sendiri berdasar keahlian dan atau ketertarikan kami pada hal yang ingin kami ketahui (baca:pelajari) dengan bentuk kelas diskusi kelompok kecil dan besar juga kelas workshop, fasilitatornya berasal dari kami (bukan panitia Peretas). Beberapa lembar kertas ditempel pada sebuah papan, bertuliskan tema-tema yang akan hadir juga beberapa kawan menulis yang ingin diketahui, kertas-kertas tersebut yang akan membantu kami untuk menentukan tema kelas diskusi ataupun workshop yang akan terbentuk. Pada hari itu waktu begitu cepat bergulir, sehingga kelas baru dapat terlaksana esok.
Pagi yang cerah dan sejuk, kusempatkan untuk jogging kecil mengelilingi daerah tempat kami menginap. Sembari menunggu jadwal pada pukul 10.00. Beberapa kelas yang kuikuti dari tanggal 22 Maret hingga 25 Maret 2019 (ini hanya beberapa yang sempat aku alami, yang lain masih banyak dan tak sempat ku-alami) :
- Pengajian Seni (kelas kelompok Kecil)
Kelas ini terbentuk karena ada beberapa kawan ingin mengetahui seluk beluk Seni Rupa. Aku dan kak Citra Sasmita (Bali) sebagai fasilitator. Bicara mengenai seni rupa yang begitu luas, dan terus terang kami (aku dan kak Citra) sedikit bingung karena tanpa persiapan, namun ini kesempatan kami untuk berbagi. Kami memutuskan kelas ini akan diawali dengan mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan (ditulis pada selembar kertas) dari peserta diskusi yang berjumlah kurang lebih tujuh belas orang.
Aku tiba-tiba memiliki ide untuk membagi mereka dalam tiga kelompok, ide ini tanpa kubicarakan terlebih dahulu dengan ka Citra (maafkan aku kak, karena ide muncul begitu saja setelah peserta berkumpul di ruangan). Tiga kelompok ini kumaksudkan untuk memudahkan memahami permasalahan yang sesungguhnya di lapangan Seni secara global. Tiga kelompok yang masing-masing menempatkan diri sebagai Kreator (seniman), Karya dan masyarakat. Kemudian mereka (masing-masing kelompok) akan bersepakat mengenai bagaimana perspektif masing-masing terhadap kesenian.
Diskusi berlangsung sangat hidup, masing-masing kelompok menyuarakan argumennya atas nama Kreator, karya dan masyarakat. Pada akhir simpulan yang terjadi adalah bahwa masing-masing elemen memiliki peran dan tanggung jawab yang sama atas keberlangsungan seni, tidak ada yang lebih dari yang lainnya. Kreator bertanggung jawab agar karya dapat dipahami oleh masyarakat, dan karya ingin dihargai sebagai alat menyampaikan pesan tidak asal diciptakan oleh kreator, dan perspektif masyarakat tentu saja berkewajiban untuk mengapresiasi dan proaktif untuk menghargai kesenian.
Seusai diskusi tersebut, pertanyaan yang telah terkumpul dibagikan pada semua peserta diskusi dan masing-masing akan menjawab pertanyaan tersebut. Tak ada peserta yang lebih dari yang lain, semua memiliki kemampuannya dalam menyikapi dan menjawab pertanyaan tersebut. Dari diskusi ini kami kemudian memutuskan untuk membuat media yang akan mengumpulkan dan menginformasikan pada publik mengenai perempuan pekerja seni budaya (terimakasih kawan-kawan untuk proses yang sangat menyenangkan).
- Video Art dan Dramaturgi (kelas diskusi kecil)
Topik mengenai Dramaturgi sengaja ingin kuhadirkan, ingin kubagi. Ini berkaitan sepanjang pengalamanku berproses seni rupa dalam menggagas konsep dan menjalankan proses riset hampir jarang dilakukan. Kelas ini berkolaborasi dengan dua kawan lain yang cukup paham atau paling tidak pernah membuat video art, yaitu Wucha (Yogyakarta) dan Dea (Bandung).
Kami bertiga bergantian bicara mengenai video art dan dramaturgi. Peserta diskusi sebanyak kurang lebih sembilan orang, dan mbak Naomi ikut dalam diskusi ini. Kami saling bertukar mengenai perspektif mengenai Video Art dan bagaimana proses tersebut melalui riset panjang dan memikirkan tempat penyajian karya video art tersebut.
Kelas ini menambah beberapa referensi video art beserta konsepnya untuk-ku. Tentu saja menerbangkan angan mengenai ide yang dapat dijadikan karya dalam bentuk video.
- Perempuan dan kolektif (Kelas diskusi besar)
Kaget ketika mbak Naomi memintaku untuk menjadi salah satu pembicara pada kelas besar, apalagi mengenai kolektif. Seroja masih embrio, sepak terjangnya pun belum seberapa. Tapi mbak Naomi meyakinkan kalau aku juga pantas bicara mengenai kolektif.
Dalam Kelas ini, aku menyampaikan bagaimana Seroja terbentuk dan ikatan yang dibangun sejak awal adalah ikatan kedekatan personal, memiliki keinginan yang sama untuk mencipta wadah yang dapat mendukung aktivitas berkarya. Juga beberapa strategi survival dalam menghidupi Seroja.
Pada kelas ini diawali dengan lima pembicara, mendengar empat lainnya bercerita mengenai suka duka mereka dalam kolektif, aku menjadi mendapat energi baru untuk melerai benang kusut di Seroja atas peristiwa pameran yang lalu. Kemudian mendengar Risya (peserta undangan dari Jakarta) pada sesi berikutnya menyampaikan satu tanya “apakah kolektif perempuan masih dibutuhkan?”. Bila pertanyaan itu langsung ditujukan padaku, aku pasti mengatakan “ya, tentu saja”, karena menurutku kolektif adalah jalan efektif agar perempuan mendapat akses yang baik mengenai berbagai bidang dan kolektif bagiku adalah sebuah mekanisme alat olah kesadaran bagi perempuan untuk memperjuangkan apapun yang ingin diraih dan diperjuangkan, yang akhirnya dapat melindungi hak-hak perempuan itu sendiri.
- Sekolah Perempuan Mosintuwu (kelas diskusi besar).
Kelas yang luar biasa menurutku, menghadirkan empat perempuan hebat warga Poso yang tak seluruhnya lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan kak Lian Gogali sebagai moderator. Masing-masing dari keempat perempuan tersebut bercerita mengenai awal mula bergabung dan perkembangan diri apa yang pada akhirnya dirasakan.
Keempatnya mengawali cerita mengenai pengalaman mereka saat konflik poso dan juga saat mengalami bencana alam. Bagaimana mereka saling curiga jika akan dibunuh antar pemeluk agama satu dengan lainnya (islam dan Kristen), harus mengungsi untuk menyelamatkan diri dan keluarga. Lalu tersadar sebenarnya mereka mengungsi dari apa?, karena dalam tempat pengungsian ada pemeluk islam dan juga kristen. kemudian bagaimana mereka mengatasi keadaan kalut saat isu bencana lebih besar akan datang. Astaga, mereka berhasil membuatku hanyut dan menitikkan air mata. Sepertinya segala luka yang pernah kualami tak ada artinya dengan semua pengalaman mereka, sedih dan setengah malu. Dan lagi-lagi aku mendapat suntikan energi luar biasa dari kelima perempuan hebat ini.
Satu lagi yang membuatku terkesan, Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh kak Lian Gogali punya satu kurikulum yang jenius bagiku yaitu; keterampilan berbicara dan bernalar. Kurikulum ini membuat peserta didiknya terlatih untuk kritis minimal terhadap segala kebijakan pemerintah daerah, juga berani untuk berargumen ketika kebijakan tersebut dinilai ada yang janggal dan merugikan penduduk. Aku tak dapat berkata apa-apa, seusai kelas kami pun saling berpelukan dengan keempatnya.
- Suku Korowai (kelas diskusi besar)
Sesi presentasi oleh kak Rhidian Yasminta Wasaraka, perempuan keturunan Papua-Jawa. Kak Dian juga salah satu peserta undangan Peretas yang datang dari Papua. Penelitiannya mengenai suku Korowai yang telah dimulai dari tahun 2003 menjadi gairahnya untuk mengabarkan mengenai kesetaraan perempuan yang dapat dilakukan oleh suku pedalaman Papua (Korowai), seperti hendak “menantang” (jika boleh aku menyebutnya) pada masyarakat modern mengenai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam segala bidang.
Kesetaraan yang berlangsung di segala bidang, baik urusan domestik rumah tangga, membangun rumah, mencari makan sampai mengurus anak.
“Tak ada ceritanya perempuan suku Korowai pagi-pagi membuatkan sarapan atau minuman karena merasa ada kewajiban melayani suami”, kata kak Dian.
Bila sang istri membuatkan hidangan, itu lebih seperti hadiah atau wujud perhatian dan cinta kasih bukan karena keharusan melayani suami. Dalam rumah pohon suku Korowai (setinggi 4-6 meter saja dari permukaan tanah bukan seperti yang diberitakan hingga 50 meter) tungku untuk memasak bagi laki-laki terpisah dengan tungku milik perempuan (masing-masing memiliki tungku untuk memasak). Ketika harus membangun rumah pun, perempuan mengambil perannya, seperti membersihkan duri pada daun sagu untuk dijadikan atap rumah. Kesetaraan terjadi dalam segala aspek kecuali berkaitan dengan sesuatu yang kodrati seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. Bahkan perempuan Korowai berhak menentukan anak mana yang akan mereka lahirkan dan tidak.
Apa yang dilakukan kak Dian seperti menstimulasiku untuk mencari dan menemukan lingkungan di Surabaya yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Aku kemudian ingat saat diundang pada acara Festival Kampung Dolly, area yang dulu adalah lokalisasi prostitusi terbesar se-Asia lalu resmi ditutup oleh Walikota Surabaya (Tri Rismaharini) pada 19 Juni 2014, lima tahun lalu. Area tersebut oleh beberapa warga yang peduli mengenai keadaan Dolly yang seketika mundur perekonomian dan semangat hidupnya, ingin dijadikan sebuah kampung wisata berbasis pendidikan untuk mengembalikan nama besar Dolly, namun kali ini dengan wajah barunya. Aku tertarik dengan rencana tersebut.
- Workshop Eco Print
Setelah banyak kelas yang kuikuti sangat menguras pikiran dan emosi, aku memilih bersenang-senang merenggangkan otak di workshop yang difasilitasi oleh kak Novi (dari Bali) dan kak Lusi (Malang). Walau aku dari Seni Rupa namun praktik Eco Print masih belum pernah aku lakukan.
Kak Novi dan Kak Lusi begitu sabar menyiapkan kebutuhan kami, dari kertas, gunting, bunga dan daun segar, juga tali pengikat, sampai panci besar untuk mengukus. Dua orang keren ini sangat telaten memberi penjelasan, mencontohkan, juga menjawab pertanyaan.
Kupikir, workshop ini dapat kutularkan pada teman-teman Seroja nanti. Atau bahkan kami dapat membuat usaha dengan basic Eco Print, semoga saja.
- Workshop Dongeng
Mendongeng salah satu strategiku untuk menarik perhatian para murid (aku seorang guru di beberapa sekolah di Surabaya), sebelum melontarkan dongeng aku akan membaca buku cerita untuk membantu persiapanku. Namun ada kalanya mendongeng dibutuhkan sewaktu-waktu, saat berkumpul dengan keponakan misalnya, atau saat sedang santai di kantin sekolah kemudian murid-murid berkumpul.
Sejak awal perkenalan, beberapa informasi mengenai bidang yang kawan-kawan geluti begitu menancap di ingatanku, salah satunya Yessy (Bandung). Yessy menggunakan Dongeng dan berinteraksi dengan anak-anak sebagai metode untuk penyembuhannya dari beberapa kisah traumatik yang dialami. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke workshop ini, dan Yessy sebagai fasilitatornya. Peserta workshop ada enam orang, tujuh dengan Yessy. Di mulai dengan memilih satu di antara beberapa sobekan kertas yang berada di kantong kain, di permukaan sobekan kertas telah tertulis sebuah kata yang dari kata itulah kita merangkai sepotong cerita. Dan aku memeroleh kata “malam”.
“Di kejauhan, tepatnya di atas bukit, malam berlari dengan sangat kencang, sraaappp”, begitulah aku membuat potongan dongeng (hahahaha) .
Kemudian setelah semua peserta kebagian dengan potongannya masing-masing, Yessy berdiri dan menyampaikan sesi selanjutnya.
“Sekarang kita akan menggunakan gerak, mendongeng sambil mengilustrasikan gerakannya”, Yessy menjelaskan.
Sesi ini yang kuanggap paling seru, karena seperti tertantang menciptakan gerak yang menantang dan dongeng yang menarik. Bermain-main dengan imajinasi liar atau meliarkan imajinasi (baleh yang mana saja lah). Kuajak teman-teman peserta yang lain untuk berjalan kesana kemari sambil membentuk jari berbentuk kotak karena buah jeruk yang berbentuk kubus jatuh dari pohonnya dan masih bisa menggelinding dan menggelinding dan menggelinding lagi lalu membentur batu dan berhenti (Wkwkwkwkwkw, rasanya geli dapat sedikit usil dengan kawan lain dan kawan lain juga tak kalah usil). Yessy, terimakasih untuk sesimu yang membuatku bisa tertawa lepas.
Proses kami begitu egaliter, setiap orang adalah sumber pengetahuan begitulah aturan mainnya. Tidak ada yang lebih dari ya lain.
Aku seperti hanyut dalam wahana bermain. Ya, wahana yang tak sekedar membahagiakan namun juga mengisi batinku dengan segala hal mengenai gairah berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Wahana yang dapat kukantongi sebagai bekal membangun pergerakan dengan Seroja juga kesenian di Surabaya.
Melarung Depresi
Dua hari sebelum pulang ke Surabaya, malam harinya, sebagian dari kami masih menikmati hidangan spesial dan pesta kecil. Tak terkecuali aku,
Hingga,
Setelah semua, genggaman kami semakin erat. Untuk saling menjaga dan mendukung satu dengan yang lain. Dodoha Mosintuwu dan seluruh alam Poso sebagai saksi, begitu rekat kami berjabat.
Rusa Betina Apa Kabarmu?
Pada ulang tahunku kali ini sapaan itu sudah tak kudapatkan lagi. Sapaan yang selalu ada pada tiap surat cinta dari Bapakku. Sejak aku minggat pada medio Maret 2007 lalu, komunikasi kami menjadi lebih banyak di atas selembar kertas, dan bapak bisa menulis berlembar-lembar ketika momen ulang tahunku tiba. Tentu saja isinya lebih banyak harapan-harapan masa depan terutama mengenai pernikahan dan juga permintaan maaf.
Mungkin pada ulang tahunku April lalu, harapan-harapan itu, terutama soal pernikahan tak ingin lagi disampaikan padaku, hanya Bapak sematkan pada doa-doa dalam sujutnya. Namun julukan Rusa Betina yang kata bapak berdasarkan aku yang tak pernah bisa duduk diam dan hanya “anteng nek luwe” seperti membawaku untuk mengambil pilihan-pilihan hidupku sendiri dan berbeda dari embak atau adik laki-lakiku yang lebih banyak nurut pada kedua orang tua dan bisa jadi berbeda dari kebanyakan yang lain.
Ah Bapakku sayang, izinkan Rusa Betinamu ini untuk tetap memilih jalannya sendiri. Hanya restumu yang kupinta dalam hening.
Surabaya, 12 Mei 2019