Aku tergopoh menyelesaikan peringatan Internasional Womens Day 2019 di sebuah kota kecil di Pesisir Barat Pulau Sumatera yang terkenal dengan “The Land Of Rafflesia”. Namanya Bengkulu, tempat kelahiranku yang terkenal dengan rumpun melayu pesisir dan termasuk deretan kota termiskin di Indonesia. Namun, aku seorang perempuan muda yang ingin menyingkirkan kata miskin yang menjadi gelar kotaku. Perkenalkan, namaku Lica Veronika. Aku berusia 20 tahun, dan menjadi relawan di sebuah sebuah yayasan yang bergerak di isu perempuan yaitu Cahaya Perempuan Women Crisis Center. Dan menjadi pengurus di Forum Perempuan Muda yang dibentuk oleh Cahaya Perempuan guna melibatkan perempuan muda untuk mencegah perkawinan anak di Provinsi Bengkulu.
Aku mahasiswi semester 4 jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD), dan menyukai audio visual. Beberapa kali aku bersama teman-teman seperjuangan membuat film untuk media kampanye. Hanya sebagai luapan emosi untuk merespon fenomena yang terjadi di lingkunganku. Aku bersama teman-temanku belajar untuk menjadikan film sebagai pemantik diskusi.
Peretas Berkumpul Pakaroso yang diadakan di Dodoha Mosintuwu, Poso, Sulawesi Tengah. Mataku berkaca-kaca karena harus mengingat segala kebaikan dan hari-hari penuh cinta yang aku dapatkan dari 50 perempuan pekerja seni yang berlatar belakang berbeda. Untuk pertama kali, aku merasa bahwa kehadiranku sangat dihargai, meski pada awalnya aku sangat tidak percaya diri. Karena menganggap bahwa aku bukan seniman. Menulis? Melukis? Menggambar? Desain? Sejujurnya, kemampuanku masih cetek sekali. Tapi, kakak-kakak semua memberikan aku ruang bicara dan pelukan hangat.
Kalian tau, kami menentukan sendiri apa yang ingin kami pelajari dan apa yang bisa kami sharing ilmu dengan cara membuka banyak kelas. Prinsipnya adalah semua orang adalah narasumber. Dan 50 perempuan peserta, staf Institut Mosintuwu, Mamak-mamak kelas perempuan, adalah orang-orang bersayap yang akan membawaku terbang. Tapi, semua kelas adalah pilihan dan dilaksanakan pada waktu yang bersamaan sehingga aku harus memilih. Dan kali ini, akan kuceritakan kelas apa saja yang aku ikuti dan bagaimana jiwaku dibawa terbang kesana-kemari.
Kelas pengajian seni dipandu oleh kak Rafika (Surabaya) dan kak Citra (Bali), ada sekitar 15 orang perempuan yang bergabung. Clue-nya kami harus mendiskusikan hambatan dan kendala yang dihadapi oleh kawan-kawan seniman dari perspektif kreator/seniman, karya, dan masyarakat. Lalu, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Setelah diskusi panjang, aku menyimpulkan bahwa apa yang dialami oleh seniman di setiap daerah adalah sama. Yaitu, penghargaan atas seniman perempuan dan karya yang dihasilkannya di pandang sebelah mata. Kami bersepakat bahwa sepulang dari Poso, kami akan membuat aksi kolektif untuk mendokumentasikan seniman perempuan dari daerah asal. Dan mengupload karya serta biografi singkatnya di akun sosial media.
Aku sangat penasaran dengan video art sehingga dibuatkan kelas khusus dan dipandu oleh kak Wucha (Yogyakarta), kak Rafika (Yogyakarta), dan kak Naomi (Pendiri Peretas). Aku kebinggungan sekali dan membutuhkan banyak waktu untuk mencerna infomarmasi terkait video art. Menurutku mengapa rumit sekali. Apakah video art mengutamakan editing yang rumit atau sebuah konsep dramaturgi yang apik. Aku tidak dibiarkan linglung, sehingga segala yang aku pikirkan di bahas lagi dan dijelaskan dengan tatapan mata yang berbinar. Aaaah, mengapa kalian membuatku jatuh cinta!
Perempuan pasca perceraian, topik kelas ini membawa jiwaku datang ke rumah kak Lian (Pendiri Institut Dodoha). Aku duduk di paling belakang diatas sebuah sofa bambu dan beralaskan bantal. Air mataku mengalir deras. Aku susah bernapas. Hidungku penuh dengan cairan lembek yang membuat aku harus ke kamar mandi dan meninggalkan ruangan. Aku cenggeng? Mudah terharu? TIDAK! AKU SEDANG MENGUATKAN DIRIKU AGAR SELALU KUAT SEPERTI MEREKA. Hasilnya, aku terbawa suasana dan mengungkapkan bahwa aku juga memiliki trauma yang tidak bisa aku ceritakan. Kak Sisca (Surabaya) berbalik menatapku, aku tau dia semakin ingin aku menerima luka dan berdamai dengan luka itu. AKU PASTI BISA!
Menstruasi Dalam Karya, adalah kelas yang aku buat bersama kak Neni (Samsara) dan kak Astrid (Yogyakarta). Aku ingin mengajak kawan-kawan untuk merefleksikan apa yang sudah para kreator media memperlakukan menstruasi. Soal ketabuan dan kesalahpahaman dalam memaknai siklus bulanan seorang wanita. Kak Neni menjelaskan dampak dari ketabuan tersebut dan kak astrid mengajak kita untuk menjadi bagian dari siklus tersebut. Caranya adalah dengan menyadari bahwa di dalam tubuh ini terdapat elemen alam sehingga darah yang keluar dari tubuh harus kembali ke alam. Jika menggunakan menstrual cup, maka darah yang keluar di campur air bersih dan disiramkan ke tanaman. Setelah pulang, aku mencoba pada bunga kembang sepatu. Hasilnya, aku menjadi lebih tenang dan semakin menyayangi tubuhku.
Kali ini, aku ingin bercerita tentang Keindahan Danau Poso dan kedamaian abadi. Poso terkenal dengan daerah konflik dan peperangan antar umat beragama. Begitu banyak cerita menakutkan yang kudengar ketika aku mengatakan bahwa aku ingin ke Poso. Setelah datang, aku menemukan sebuah fakta bahwa kasih sayang antar umat adalah fitrah. Perempuan perkasa yang menjadi agen perdamaian antar kelompok dan sebagai tabib untuk mengobati orang sakit. Aku terperangah mendengar kisah mamak yang kelam dan sekarang menjadi orang penting dalam menjaga kedamaian. Cerita Kak Dian dan Rayhan (Papua) tentang perempuan suku Korowai. Dan kak Lian, yang sungguh menyindir jiwa kerelawananku yang mulai aku pupuk.
Peretas, aku lelah menulis untuk mengucapkan terima kasih. Aku bertemu dengan perempuan pekerja seni yang membuat aku menyelami tiap-tiap bagian dari diri mereka. Kak Naomi, kak Yuri, kak Pitra, kalian bekerja sangat keras dalam mengukir goresan pengalaman di hidupku. Aku benci sekali Maret tapi berkat kalian, aku ingin menerima Maret sebagai bagian dari satu tahun. Aku ini lemah sekali, selama setahun aku tidak tahu raga siapa yang sedang aku tumpangi. Tapi, Peretas membuatku menyadari bahwa raga ini adalah bagian dari jiwaku.
Hei kalian, rayhan (4 tahun) dan Gavarel (1,5 tahun), aunty tiupkan sebagian jiwa ini untuk mengikuti petualangan seru kalian karena memiliki mama Dian dan Mama Linda. Dan teruntuk 50 jiwa-jiwa perempuan pekerja seni yang masih menari di tepi Danau Poso, jangan lewatkan kesempatan di setiap hari untuk menjadi bagian dari semesta. Coklat hangat seduhan penyeduh jalanan, desir angin malam, dan rasi bintang yang berjejer rapi mengikat jiwaku pada waktu itu.
OHAIYO… PAKAROSO!!