Poso, 21-25 Maret 2019. Ketika aku membaca pemberitahuan lewat email bahwa namaku adalah salah satu dari 50 pekerja seni terpilih, terlintas segera konflik besar yang pernah terjadi di daerah itu, kemudian gempa, lalu keindahan alam yang pasti memukau. Ketiga-tiganya aku dapatkan, karena kami bertemu dengan perempuan-perempuan korban konflik sara pada 1998 dan juga mengalami kepanikan karena gempa di sana.
Berbekal tipis pengetahuan tentang Poso, aku berangkat berdua dengan Luna dari Solo. Belum ada bayangan tentang agenda acara yang akan kami lakukan di sana. Waktu itu aku berpikir, perjalanan begitu jauh tetapi agenda acara belum jelas, apakah ini tidak disayangkan?
Ternyata, Peretas menyediakan ruang seluas-luasnya pada para perempuan pekerja seni ini untuk menggagas sendiri apa yang ingin didapat dan dibagi di sana, di sebuah bangunan berbahan bambu yang didesain apik dan artistik di tepi Danau Poso yang bersih dan indah.
Pada pagi 21 Maret 2019, usai sarapan dipandu Mbak Naomi dan Mbak Pitra semua materi dirumuskan dan diatur jadwal. Kutangkap pada saat itu, persoalan yang terjadi dalam masyarakat adalah sumber inspirasi paling melimpah bagi para seniman dalam mencipta karya. Isu-isu penting seperti agama, keberagaman, kejiwaan, disabilitas, ketrampilan tangan dan perubahan perilaku sebagai dampak perkembangan teknologi juga termasuk di antaranya.
Dan hasilnya, dari perumusan bersama itu, semua kelas diskusi baik kelompok kecil maupun panel tak sepi peminat. Seperti prasmanan ilmu, perempuan-perempuan itu memilih menunya sendiri sesuai minat. Mereka yang militan di bidang yang diminatinya tak alergi mencicip, mempelajari ketrampilan dan beragam ilmu yang tersedia hasil rancangan bersama.
PAKAROSO!
“Ohaiyooo…” Lian berseru lantang. “Pakarosoooo..!!” kami menyambut dengan serentak. Pakaroso dalam bahasa Pamona berarti menguatkan. Dua kata bersambut itu adalah sebuah seruan untuk saling menguatkan. Itulah salah satu alasan mengapa Peretas menamai agenda pertemuan itu dengan Pakaroso! agar sesama perempuan pekerja seni saling menguatkan, melengkapi dan mewarnai.
Kata itu selalu menjadi pembuka setiap kami memulai diskusi. Bukan sekadar kata pembuka, tetapi sudah menjadi kata kerja yang hingga kini masih membekas, menerbitkan kangen jika nama-nama kawan yang tergabung di Dodoha Mosintuwu itu berseliweran di media sosial dengan agenda-agenda acara mereka di kota dan daerah masing-masing.
Lima hari membuat kami menjadi saudara. Ada ikatan yang tak bisa diurai dengan kata untuk menjelaskan betapa kami pernah melalui hari-hari mengesankan. Lian Gogali beserta keluarga besar Dodoha Mosintuwu begitu hangat menyambut dan menjadikan kami bagian dari keluarga. Menyuguhkan menu istimewa kepada kami, memanjakan lidah kami setiap hari.
DODOHA MOSINTUWU
Dodoha Mosintuwu adalah Rumah Kebersamaan, berlokasi di tepi Danau Poso. Danau terdalam ketiga di Indonesia. “Tempat berhabitat sejumlah ikan air tawar,” kata Lian Gogali menjelaskan tentang Danau Purba itu.
Ada sebuah dermaga mungil yang nyaman untuk menikmati keindahan Danau yang cantik. Ruang-ruang belajar yang nyaman, pemandangan indah menawan, kawan-kawan baru yang menyenangkan. Rasanya sulit percaya bahwa di tempat secantik itu pernah terjadi konflik yang sudah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Krisis cinta kasih pernah menjadikan tempat itu begitu mengerikan.
Itu aku tangkap saat mengikuti diskusi panel di Dodoha, yang menghadirkan perempuan-perempuan korban konflik yang kemudian bergabung di sekolah perempuan bentukan Lian Gogali pada tahun 2010-2011. Pada angkatan pertama, yaitu ketika sekolah perempuan itu dibentuk, fokus kurikulum utama yang mereka pilih adalah isu perempuan dan perdamaian. Mereka membongkar akar persoalan dan menjadi skrup-skrup rekonsiliasi.
Hari itu kami menggali ingatan mereka untuk membaca ulang bagaimana mereka bertahan kemudian bangkit kembali menjadi manusia yang menumbuhkan cinta kasih setelah sebelumnya porak poranda oleh konflik agama. Di sini Pakaroso begitu terasa ruh-nya.
Kini sekolah perempuan sudah memasuki angkatan ke 3. Kemudian pada tahun 2016 Lian mengubah konsep menjadi sekolah Pembaharu Desa. Mereka memegang satu kunci: perempuan harus terus belajar. Setiap orang adalah guru, alam adalah sekolahan. Setiap peristiwa adalah studi kasus yang bisa dipetik manfaatnya.
LINGKAR BELAJAR
Di Dodoha, selama 5 hari kami menyelenggarakan belajar bersama dan melakukan kegiatan seperti memutar film, yoga, menari, worksop podcast, workshop membaca untuk direkam menjadi audiobooks, melukis, membuat kerajinan tangan, merajut, menyulam, juga menggambari dinding sekolah TK, PAUD yang berlokasi tak jauh dari pusat belajar. Bahkan di situ juga aku mengenal yang namanya ecoprint yang dikenalkan oleh Mbak Novi. Memberi motif pada kain atau kertas dengan daun-daun atau bunga-bunga di sekitar Dodoha. Takjub sekali aku. Tetapi pas workshop itu, aku sedang memenuhi janji ngobrol di kelas kecil yang dikoordinir oleh Gita, jadi aku hanya melihat hasil karya teman-teman.
Saat itu aku melihat antusias kawan-kawan saat mengikuti kelas-kelas kecil. Bahkan menimbulkan galau karena jadwal menjadi pemateri berbenturan dengan kelas kecil yang mereka minati. Yang kulihat, adalah wajah-wajah “kemaruk” terhadap ilmu dan pengetahuan. Ha ha ha.. masing-masing mereka menampakkan keterpesonaan satu sama lain. Yah… kecerdasan memang mempesona!
Selain kelas-kelas kecil yang dibuka sesuai minat, dan diskusi panel yang menghadirkan narasumber perempuan-perempuan korban konflik Poso 1998, dibuka juga diskusi panel yang membicarakan Suku Korowai dengan narasumber Rhidian Yasminta (kami memanggilnya Mama Gajah, seperti Reyhan, anaknya memanggil).
Ia mengadakan penelitian yang didukung Media Cipta Ekspresi dalam melakukan riset ke masyarakat Korowai. Dian memaparkan bagaimana Sistem dan hubungan sosial Suku Korowai, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dan perannya dalam masyarakat.
JARINGAN DAN KERJA SAMA
Di Institut Mosintuwu juga ada ada Radio (dibangun 2016) yang menyiarkan program-program menarik salah satunya adalah dongeng ajaib. Hingga terpetik dari hatiku, untuk menawarkan sebuah kerjasama yaitu menyiarkan sastra. Mengalihwahanakan teks cerpen, puisi, cerita anak, cerita berbahasa jawa ke dalam bentuk suara.
Seperti harapanku, kerjasama itu terwujud. Aku merekam pembacaan sastra di Solo, kotaku. Kemudian aku mengirimnya ke Lani dan Ketto untuk diolah menjadi audibooks, dan disiarkan di Radio Mosintuwu setiap Sabtu sore.
Memang aku berangkat ke Poso berbekal keinginan untuk membawa www.difalitera.org (sastra suara untuk difabel netra) menemukan teman-teman baru. Terbukti beberapa teman telah menjadi menjadi kontributor difalitera.
Gempa 5,7 SR
Aku merasa perlu mencatat ini. Karena belum lama sebelum kami tiba di kota kecil itu, gempa telah meluluh lantakkan wilayah Palu yang berada di atas sesar Poso, tak jauh dari tempat kami sinau bersama.
Minggu itu, bertiga dengan Moymaya dan Hindra aku mengambil sarapan nasi goring, telor mata sapi dan membawanya keluar dari dodoha. Luna sedang sakit dan memilih tetap tinggal di penginapan.
Kami bertiga menuju tepi danau di sisi lain. Cuaca terasa panas meski hari masih muda, baru beranjak dari pukul sembilan. Sebuah pondok kecil terbuat dari papan menghadap ke danau menjadi tempat kami menikmati sarapan sambil ngobrol tentang banyak hal.
Tiba-tiba pondok tempat kami duduk bergetar hebat, seperti mengalami turbulensi di dalam pesawat. Alam gemuruh. Sesaat kami belum sadar betul apa yang sedang terjadi, sampai akhirnya kami merasakan bahwa guncangan itu adalah gempa, cukup lama kurasa.
Saat itu aku berkata pada Maya: “Ini gempa pasti lima koma…” ternyata benar, Lian Gogali mengabarkan bahwa gempa yang baru saja terjadi berkekuatan 5,7 SR berpusat di Danau Poso. OMG!
Pasca-gempa dan masih ada gempa susulan itu, Lian Gogali memberi penjelasan tentang tindakan yang harus diputuskan apabila terjadi gempa. Salah satunya adalah memberi tahu di mana lokasi titik kumpul apabila gempa besar terjadi. Lalu membaca alam, bagaimana semesta mengisyaratkan tsunami dengan cara melihat pergerakan angin mengebus dedaunan. Apabila alam diam, hening dan tak ada angin, artinya ada potensi tsunami. Waskita sekali, batinku.
Lian masih melanjutkan penjelasan bagaimana harus menyelamatkan diri. Gempa itu cukup besar, tak ada kerusakan di sekitar kami dan kami selamat, tetapi aku bisa membayangkan bahwa saudara-saudaraku yang ada di sana amat sangat dekat dengan gempa.
MENGARUNGI DANAU PURBA
25 Maret 2019. Hari terakhir ditutup dengan tawaran menyenangkan: mengarungi Danau Poso. Ahaaa!! tawaran itu yang aku tunggu. Dengan antar jemput perahu kecil kunikmati senja terakhir kami berada di sana. Alam itu begitu magis.
Aku mendapat jatah perjalanan perahu ketiga bersama Bu Ati, Mbak Wilma, Moymaya dan Jayu. Di jauh sana kami akan singgah di pondok nelayan yang berada di tengah danau. Mereka memasang jaring besar untuk menangkap ikan sogili dan ikan-ikan lain.
Kami bertemu Pak Fredy Kalengke di pondok yang kami singgahi. Beliau menuturkan betapa turun temurun keluarganya mencari nafkah di danau itu. Mereka sedang mengadang rencana pengerukan danau yang tentu akan berakibat hilangnya mata pencaharian mereka.
Kami mendengar, dan kami setuju apabila pengerukan itu digagalkan. Karena jika danau dikeruk dan perairan itu menjadi lalu lintas kapal besar, akan mendapat apa para nelayan yang saat ini melabuhkan setiap harapan rejekinya pada kekayaan dan kemurah-hatian Danau Poso.
Tidak! Jangan dikeruk! biarkan danau itu hidup dan menghidupi para nelayan dengan ugahari, arif dan tetap terjalin simpul mistis yang sudah erat sejak para leluhur mereka mengenalkan bahwa alam adalah saudara kandung kita. Harapan itu kami naikkan seiring dengan gerimis yang turun lalu menjadi hujan lebat.
Juga pada esoknya ketika kami akan meninggalkan Dodoha, alam meneteskan air melepas pergi kami. Mengenangkan kami saat pesta durian, mandi kungkum di danau dan saling barter ilmu.
Dodoha Mosintuwu, Danau Poso, Tentena, Bandara Kasiguncu kami sudah meretas batas kesombongan kami ketika memandang alammu. Melintas batas ego kami saat menyatu dengan ruhmu. Kami akan selalu merindumu. Peretas akan selalu kangen kamu! Pasti!