Sudah lama menjadi impian saya untuk berkenalan dan berjejaring dengan para pegiat dan komunitas seni dari seluruh Indonesia. Bertukar cerita dengan mereka adalah salah satu dambaan saya sebagai penulis, dan memunculkan kisah dan karya mereka merupakan salah satu cita-cita kerja saya melalui InterSastra.
Sudah lama saya menantikan adanya acara seperti Peretas Berkumpul, yang mempertemukan kawan-kawan pekerja seni, terutama perempuan, dari seluruh Indonesia untuk berbagi kisah, keterampilan, dan kekuatan.
Berbeda dari konferensi-konferensi lain yang pernah saya hadiri, di mana ada keynote speaker, pembicara, dan peserta, yang bisa jadi menimbulkan rasa lebih istimewa, sungkan, kecil hati, atau iri, para peserta Peretas Berkumpul dihadirkan sebagai setara, setinggi apa pun posisi atau sebanyak apa pun pengalamannya. Kesetaraan ini penting untuk menghadirkan semangat saling belajar dan memastikan peserta tidak merasa pengalaman, praktek, dan pengetahuan mereka adalah yang terbaik untuk diterapkan di tempat dan konteks lain. Sangat mungkin karena hal ini jugalah suasana acara di Institut Mosintuwu, Dodoha, terasa luar biasa hangat dan akrab.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di ibukota, saya menyadari bahwa konteks dan cara berkarya dan berjuang di daerah-daerah lain tentu berbeda-beda, tapi sama-sama berharga. Saya percaya saya punya pengetahuan, aset, dan akses yang bisa jadi berguna bagi kawan-kawan dari daerah lain, dan mereka pun memiliki hal-hal serupa yang bisa jadi berguna bagi saya. Saya senang sekali mendengar bagaimana kawan-kawan menghadapi tantangan di daerah masing-masing, bagaimana mereka belajar, berkarya, dan menghidupi diri dan keluarga, bagaimana dan mengapa mereka memulai kolektif, bisnis, atau komunitas, bagaimana mereka menyusun etika kerja, bagaimana mereka menghadapi masalah kesehatan mental dan kekerasan berbasis gender, bagaimana mereka mendapatkan akses ke penerbit, donor, dll., kekosongan atau kebutuhan apa saja yang perlu dipenuhi di daerah masing-masing. Saya juga menanyakan apakah dan bagaimana saya sebagai penulis dan pemimpin InterSastra dapat berkontribusi menjawab kebutuhan tersebut, dan di mana ada potensi untuk bekerja sama. Saya pun sangat menyukai kesempatan untuk mencoba-coba hal-hal baru, seperti pada workshop watercolor, merajut, mural, membaca cerita untuk audiobook, dll. Saya percaya pengalaman dan pengetahuan kita masing-masing dapat meningkatkan kapasitas dan melengkapi perspektif kita tentang apa itu seni-sastra Indonesia, hidup dan perjuangan perempuan, dan banyak hal lainnya.
Saya memuji panitia Peretas Berkumpul yang memperhatikan dan mengantisipasi banyak hal, antara lain memastikan keberagaman peserta dari segi asal-usul, usia, medium karya, dan latar belakang lainnya. Untuk mendapatkan peserta yang sungguh beragam bukan kerja yang mudah—panitia mesti memastikan pengumuman acara sampai ke berbagai daerah, mulai dari kota besar hingga desa terpencil; memastikan peserta memiliki cara untuk mendaftar baik online maupun offline, secara tertulis maupun dengan cara lain yang lebih nyaman bagi mereka; panitia mesti menyediakan fasilitas pendukung bagi peserta yang membutuhkan, seperti penerjemah, penitipan anak, makanan yang sesuai, dan fasilitas penunjang lainnya. Selain itu, ketika mengevaluasi pendaftaran yang masuk, panitia mesti mengusahakan standar yang mereka gunakan sebisa mungkin tidak bias dan memperhatikan konteks peserta yang berbeda-beda.
Hal-hal itulah yang mesti kita lakukan jika kita ingin melihat terwujudnya acara dan kegiatan seni-sastra Indonesia yang sungguh-sungguh mencakup seluruh Indonesia, atau setidaknya menghadirkan perwakilan yang sungguh beragam.
Saya yakin, panitia Peretas Berkumpul telah sangat mengusahakan hal ini, dan itu menjadi pelajaran bagi saya juga bahwa hal itu sebenarnya mungkin dilakukan. Saya melihat selama acara Peretas Berkumpul tercipta sebuah ruang tempat kerja dan karya kami dinilai dari substansinya, bukan dari skala, prestise, atau nilai ekonomi semata. Di ruang itu kami dapat mengajukan pendapat dan kritik. Contohnya: kami berbicara tentang mengakomodasi kebutuhan perempuan, seperti menyediakan penitipan anak agar perempuan yang punya anak tetap dapat untuk berpartisipasi dan berkarya, tetapi kita juga tak lupa mesti mengadakan dialog tentang atau program lainnya supaya pembagian kerja dalam rumah tangga menjadi lebih adil. Contoh lainnya: kami berusaha belajar dari budaya setempat dan kearifan lokal, tetapi juga bersikap kritis terhadap praktek dan kebiasaan yang tidak mencerminkan prinsip kesetaraan dan inklusifitas. Budaya dan tradisi merupakan ciptaan manusia yang bisa diinterpretasikan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Satu catatan dari saya, yaitu pemisahan tempat atau waktu merokok. Sepanjang acara yang lalu, walaupun bertempat di balai yang terbuka, saat sesi berlangsung banyak orang yang merokok, di dekat anak kecil sekalipun. Bagi saya hal itu cukup mengganggu konsentrasi dan kenyamanan, karena hal itu terjadi saat sesi berlangsung, bukan hanya saat santai. Saya percaya jika kita dapat mengakomodasi kebutuhan perempuan yang punya anak, kita juga dapat mengakomodasi kebutuhan mereka yang memilih untuk tidak merokok.
Semangat saya kembali segar berkat kehangatan dan solidaritas yang saya rasakan bersama kawan-kawan Peretas Berkumpul. Setelah kembali ke Jakarta, saya telah bekerja bersama beberapa alumni Peretas dalam dua kegiatan InterSastra, yaitu Fashion ForWords dan penerbitan serial Unrepressed 2019. Saya pun menjadi semakin sadar dan bertekad untuk menjalin kerja sama yang berlandaskan semangat kesetaraan dan saling belajar antara pengarah acara dan seniman, editor dan penulis.
Saya tak sabar melihat bagaimana komunitas Peretas akan berkembang dan kolaborasi apa saja yang akan lahir dari komunitas tersebut. Terima kasih banyak atas kesempatan yang telah diberikan.