Aku ingin pergi ke dalam
gelapnya hutan, agar
Aku bisa memahami
peran matahari, panas
yang menciptakan keringat
Aku ingin berjalan bersama
arus Danau Poso, agar
Aku bisa merasakan
perihnya diusir atas
perpecahan, pecah
Aku ingin tidur lelap
bersama perempuan
yang berjuang untuk tidur lelap,
Aku ingin memeluk tangis
Perempuan yang berjuang
untuk tidak menangis
Agar aku bisa
berbagi rasa hangat,
rasa sayang, rasa pilu
rasa bahagia, rasa
yang perlu diutarakan
Untuk saling menguatkan
Untuk saling memahami
Untuk saling merasakan
Tentena, Poso
23 Maret 2019
Puisi di atas salah satu bentuk perasaan yang hingga hari ini masih kuingat. Aku tidak bisa menyimpulkan dalam satu kata, karena rasanya terlalu mewah. Aku membuatnya ketika berada di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu daerah yang tidak pernah masuk daftar keinginanku untuk dikunjungi. Namun sekarang, Tentena menjadi salah satu daerah yang meyakinkan aku bahwa setiap perempuan layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa, sama seperti laki-laki.
Tidak. Di Tentena, Poso bukan agenda untuk liburan, melainkan untuk mengelola perasaan, berbagi kegelisahan, kemampuan, dan harapan bersama perempuan-perempuan hebat. Mereka hadir dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Tentunya, kita tidak dipertemukan begitu saja. Semesta sudah merencanakannya melalui perpanjangan tangan perempuan-perempuan hebat dari berbagai ragam pola pikir yang menciptakan PERETAS; Perempuan Lintas Batas. Alhasil? Peretas Berkumpul 01: PAKAROSO! di Dodoha Mosintuwu, Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.
Peretas Berkumpul 01: PAKAROSO! merupakan wadah untuk mempertemukan perempuan-perempuan pekerja seni dan budaya. Meskipun, wadah ini juga mengundang akademisi, peneliti, dan aktivis. Di sana, 50 perempuan dari berbagai latar belakang memiliki cara sendiri untuk berbagi dan mengekspresikan apa yang diamini selama ini. Sama seperti salah satu tujuan mengapa Peretas dibentuk. Awalnya aku mengira bahwa pertemuan ini akan digelar persis seperti aktivitas pada umumnya. Di dalam perjalanan, tak berhenti aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri dalam hati, tentang apa yang akan aku dapatkan di kegiatan Peretas? Aku bertanya-tanya dalam hati tentang siapa para ahli yang akan mencekoki aku dan 49 perempuan lainnya dengan ilmu seni & budaya dari pagi hingga sore di setiap harinya? Aku bertanya-tanya sendiri tentang mengapa aku bisa menjadi salah satu dari 50 perempuan yang ada di Peretas Berkumpul 01?
Ternyata, aku tidak perlu mendapatkan jawaban yang saklek. Aku cukup merasakan aktivitas berbagi di Peretas Berkumpul 01, hingga aku percaya bahwa aku adalah seorang yang cukup. Aku tidak perlu membandingkan diriku dengan orang lain yang memiliki kemampuan berbeda, sebab setiap orang itu istimewa. Peretas Berkumpul 01 mengajarkan aku untuk lebih percaya diri dengan apa yang aku miliki, sebagai perempuan. Aku bisa menuangkan perasaanku melalui kata-kata yang kadang tidak bisa dimengerti orang lain. Aku bisa merangkai kata-kata menjadi sebuah alunan nada dan suara untuk dinyanyikan. Begitu juga dengan perempuan-perempuan lainnya. Mereka, aku temukan di Peretas Berkumpul 01, dan aku yakin perempuan-perempuan di luar sana, yang belum tergabung dalam Peretas Berkumpul juga memiliki kemampuan yang berbeda. Itu harus dihargai.
Aku tidak menyangka dengan konsep pertemuan yang diberikan oleh Peretas Berkumpul 01. Semua pertanyaanku di tengah kurang lebih 8 jam perjalanan darat dari Palu menuju Poso yang berliku-liku itu, terjawab selama kurang lebih seminggu di Tentena, Poso. Setengah hari di ruang semi outdoor, aku memiliki rasa yang cukup aneh. Pertemuan ini tidak dimulai dengan jadwal-jadwal seperti biasanya. Pantas saja, karena aku dan teman-teman seniman perempuan terpilih yang harus membuat jadwal itu sendiri. Aku dan teman-teman seniman perempuan dengan ragam keahlian harus memiliki agenda kolaborasi atau individu yang harus bisa mengisi hari-hari kita di ruang kepala ikan ala Dodoha Mosintuwu. Setengah hari berikutnya, aku merasakan kebingungan dan juga mulai merasakan tidak percaya diri. Sebab, aku takut kalau agendaku tidak layak untuk diberikan. Meski pada akhirnya aku tidak membagikan kemampuan khusus di dalam satu kelas tertentu, namun aku tetap ingin terlibat dengan berbagi pandangan tentang peran perempuan dan seni bersama Keiza, Resti, Syska, Vita, dan beberapa perempuan seniman lainnya. Ternyata, kami memiliki pandangan yang sama tentang sistem yang mendiskriminasi seniman perempuan dalam berkarya. Benang merahnya adalah sistem patriarki yang masih menempel di kepala masyarakat Indonesia.
Tentu saja tidak melulu membicarakan peran perempuan dan seni dalam satu minggu di Tentena. Diinisiasi oleh Efi, aku juga berbagi pengetahuanku dari Ka Dhyta Caturani (salah satu penggagas Peretas Berkumpul 01) tentang keamanan digital. Senang sekali rasanya melihat antusias teman-teman yang tergabung di kelas kecil saat itu. Bukan lagi ketakutan yang aku dapatkan ketika membicarakan keamanan digital, tetapi bibit-bibit dukungan dari teman-teman seniman perempuan yang juga memiliki perhatian terhadap bahaya digital. Penguatan demi penguatan untuk diriku sendiri terus terbangun setiap harinya. Selain belajar mengelola rasa sabar melalui kelas sulam bersama Ibu Ati, aku juga belajar tentang Perempuan dan Spiritualisme bersama Ka Astried. Tentu ada jejak karya yang aku ingin tinggalkan di Tentena, Poso. Itu tergambarkan melalui mural di Sekolah Dasar terdekat Dodoha Mosintuwu. Hasil karya di sana berkat kolaborasi dengan seniman dari Ruru, Jayu Juli. Epic! Meski tidak semua kelas dapat aku ikuti, namun agenda-agenda yang aku ikuti mampu membuka ruang untuk membangkitkan rasa percaya diriku untuk mengatakan bahwa setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing.
Ternyata, aktivitas yang begitu padat tidak membuatku lupa untuk merasakan hal yang perlu aku sadari saat Peretas Berkumpul 01. Yaitu, tentang bagaimana kalau suatu hari nanti aku merindukan teman-teman seniman perempuan di Dodoha Mosintuwu? Bagaimana jika nanti aku merindukan Tentena, Poso? Bagaimana jika aku merindukan semangat mama-mama yang bekerja dan belajar di Dodoha Mosintuwu? Tentu jawabannya ada di dalam diriku sendiri. Lalu, aku berjanji untuk terus menghasilkan suatu karya berbentuk puisi, tulisan fiksi, lagu, dan penampilan-penampilan seni yang memperlihatkan bahwa aku adalah perempuan dapat berkarya seni sama seperti laki-laki.
Peretas Berkumpul 01 membuat aku harus dapat mengelola rasa takut sekaligus bertahan untuk tidak merasakan rasa rendah diri yang tiba-tiba datang. Daerah yang pernah menjadi zona merah bagi teroris ini, membuat aku harus bisa menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, baik secara nature maupun nurture. Bagaimana tidak? Aku harus deal dengan diriku sendiri dan lokasi belajar yang bebas untuk anjing berseliweran. Aku tidak benci anjing, namun pengalaman masa kecil dikejar anjing sejauh kurang lebih 600 meter membuatku sulit untuk melupakan kejadian saat itu. Di samping itu, aku dicobai oleh semesta dengan gempa berkekuatan 5,7 SR saat aku menikmati pemandangan segar nan hijau depan kamar penginapan. Sungguh, pengalaman yang wah dan tidak dapat disebutkan dengan satu kata. Namun yang pasti, hari ini aku kagum dengan diriku sendiri karena bisa melewati satu minggu belajar dengan perempuan-perempuan seniman yang memiliki segala keahlian di tengah sistem yang masih tidak mendukung perempuan untuk berkarya. Hari ini dan seterusnya, aku ingin terus berkarya. PAKAROSO!
Salam takjub dan peluk hangat,
Ayunita Xiao Wei